CHAPTER 9

181 21 0
                                    

Selamat membaca! Semoga suka dan bermanfaat ♡

• • • •

Bruk!...

Suara antara kepala Eska dan dinding saling beradu. Abdi kembali memberikan pelajaran kepada Eska.

"Dasar anak kurang ajar! " Abdi tak henti-hentinya memaki Eska.

Eska yang sudah tak berdaya hanya bisa pasrah. Matanya sudah bengkak karena sedari tadi menangis kesakitan. Kepalanya terasa mau pecah.

Plak!

Tangan Abdi kembali meluncur di atas pipi mungil gadis itu.

Sekarang Eska hanya bisa memohon kepada papanya.

"Pa... " Kata Eska sambil tak henti-hentinya terisak.

"Es.. Eska mo..mohon pa... "
Hiks..

"Cu..cukup pa... Badan Eska sakit semua, pa.. " Mohon Eska kepada papanya.

Tapi Abdi tetaplah Abdi. Ia tak akan merasa kasihan kepada putri sulung nya hanya karena ucapan Eska yang memohon kepada papanya.

"Jangan kamu pikir, karena kamu sudah mohon-mohon sama papa, papa akan kasihan sama kamu? Tidak!
Kamu itu anak yang tidak tau diuntung! Tidak pernah sedikit pun menjadi contoh yang baik untuk adik-adik kamu! " Abdi mengeluarkan semua emosinya.

Bruk!

Eska terjatuh di hadapan papanya. Karena terlalu banyak tenaga Eska yang keluar,membuat Eska harus pingsan di depan mata kepala papanya sendiri.

🍂

Pelan-pelan Eska membuka matanya. Tapi bukan ruang bawah yang ia lihat. Dan sudah tidak ada kehadiran papanya di hadapan nya.

Eska melihat sekeliling. Dan baru ia sadari, kalau dirinya sekarang sudah ada di kamarnya sendiri. Eska bingung, siapa yang membawanya sampai ke kamar?


Apa papanya?
Eska tersenyum ketika membayangkan kalau papanya lah yang membawanya sampai ke kamar.

Eska langsung turun ke bawah. Dilihatnya bi Nia yang sedang membersihkan kursi-kursi. Eska dengan cepat langsung turun untuk menanyakan langsung pada bi Nia.

"Bi.. Tadi yang bawa Eska sampai ke kamar, papa ya? " Tanya Eska dengan bahagianya.

"Enggak nak, tadi pak Budi yang bawa nak Eska ke kamar. Disuruh sama papanya nak Eska" Jelas bi Nia.

Seketika senyum yang dipancarkan dari wajah Eska hilang begitu saja. Apa sebaiknya ia tak harus menanyakan siapa yang sudah membawanya?

Mungkin, kalau Eska tak bertanya siapa yang membawanya ke kamar, dan berpikir bahwa papanya lah yang membawanya, mungkin saja senyum itu akan tetap ada sampai beberapa hari ini.

Bukan hanya hitungan menit seperti yang sekarang.
Tak ada pilihan lain, Eska memang harus menerima itu semua. Tak ingin bertanya lebih banyak, Eska memutuskan untuk masuk ke dalam kamar dan istirahat.

Sebenarnya, mulai dari bangun tidur tadi Eska masih merasakan sakit di kepalanya. Entah karena kerasnya kepalanya beradu antara dinding, atau karena ada hal lain.

Bersambung

• • • •
Stop jadi pembaca gelap! Semoga suka dan bermanfaat ♡

Aku Trauma [TAMAT] ✔Where stories live. Discover now