63. Ayah

2.2K 155 7
                                    

Kebahagian menyelimuti Erlan. Tujuh tahun hidup dengan merasakan sakit hati, akhirnya ia bisa juga menghirup yang namanya bahagia.

Jangan katakan ia mampu tinggal di rumah ibunya setelah bertahun-tahun tersiksa batin. Erlan memilih kembali ke apartemen ini. Rasanya memang sulit, karena otaknya selalu saja mengulang masa bahagia dulu.

Erlan tak tahu berapa kali ia mengerang, menahan sakit hati yang tak kunjung usai. Namun hari ini, semuanya berbeda. Memang, Nana tidak hadir di sini, tetapi Erlan sudah sangat bersyukur bisa melihat anak-anaknya.

"Ayah nggak makan?" tanya Irgi.

Erlan membalas dengan senyuman. Sejak tadi, ia hanya memandangi kedua putranya yang lahap memakan ayam goreng. Di sini, Irgi lebih banyak bicara ketimbang Arga. Bahkan, bisa dibilang Erlan belum mendengar suara Arga dengan jelas.

Ada rasa penasaran yang menggelitik untuk bertanya. "Ibu sekarang di mana?"

"Ibu? Ibu guru?" tanya Irgi polos.

Erlan segera menggeleng, ia tersenyum geli karena anaknya tak paham maksudnya. "Ibu, ibu kalian."

"Ibu? Bunda?" Irgi bertanya lagi.

"Ah, bunda. Iya, bunda." Erlan baru tahu, kalau Arga dan Irgi memanggil Nana dengan sebutan Bunda.

Irgi nampak berpikir. "Mungkin lagi di Medan atau Padang, atau bisa juga di Palembang."

Mulut Erlan terbuka sedikit karena jawaban itu. Sebenarnya, di mana Nana berada? Kenapa kota yang disebutkan Irgi terlalu banyak? Nana sedang keliling negara?

"Emang bunda ngapain keliling kota kayak gitu?" tanya Erlan penasaran. Siapa tahu, Nana sedang bulan madu dengan suami barunya.

Meskipun tak sanggup bertemu wanita itu dengan status baru nanti, ia akan tetap berusaha untuk meluapkan emosi karena Nana meninggalkan kedua putranya, sedang wanita itu pergi bersenang-senang liburan.

"Kelja." Arga menjawab. Erlan seketika menoleh ke anak pertamanya.

Suara itu pertama kali didengar Erlan. Cadel. Itulah yang ada di dalam hati Erlan. Ingatkan ia untuk mengajari putranya itu menyebutkan huruf R.

Bukan ingin menghina putra sendiri, tetapi ini lucu. Spesies langka, anak laki-laki cadel.

"Bunda kerja apa?" tanya Erlan, sambil menelan rasa lucunya di balik senyum geli. Waktunya serius.

Sungguh, ia amat penasaran dengan kabar Nana sekarang. Tak peduli jika Nana sudah bukan miliknya lagi. Dalam pikiran Erlan terkubur banyak pertanyaan tentang bagaimana Nana melewati waktu tanpanya.

"Buka warung di kota-kota, ah, Irgi nggak tahu, tanya ke bunda aja." Anak itu mengeluh.

Erlan mengacak rambut Irgi gemas. "Ya, udah, nanti Ayah tanya ke bunda kalau kita udah ngumpul."

"Emang Om benelan ayah?" tanya Arga.

Pertanyaan itu membuat lidahnya keluh, terlebih dengan panggilan "Om" yang ditujukan untuknya. Tentu saja hal ini akan terjadi, ia tidak pernah menampakan wajah di depan darah dagingnya sendiri sejak mereka terlahir.

Erlan tak meragukan sedikit pun jika Arga dan Irgi adalah anak kandungnya. Terhitung dari umur mereka dan lamanya Erlan dan Nana terpisah, itu sudah tepat.

"Iya, ini ayah," jawabnya.

Arga menatapnya tanpa ekspresi. "Kenapa balu nongol sekalang?"

"Ayah, kan, sibuk kerja. Kata bunda gitu." Irgi menyahuti.

Sibuk kerja? Nana membohongi kedua anak ini?

"Tapi, kok, Om nggak tahu bunda kelja apa? Padahal, kata bunda, dia seling ketemu Ayah kalau kelja kelual kota," jelas Arga, kedua kali putranya memanggil dengan sebutan "Om".

Pressure : Jodoh Dari DesaWhere stories live. Discover now