44. Beban Pikiran

3K 298 57
                                    

Duduk di sofa menghadap balkon, Erlan diterpa beban pikiran yang sudah seminggu ini belum juga hilang. Bukannya ingin memendam sendiri, pembahasan ini terlalu privasi untuk dibahas dengan orang lain.

Erlan perlu mengumpulkan keberanian dan rasa malunya menjadi satu, agar bisa menceritakan ini pada Dino maupun Nana. Ya, dua orang kepercayaannya.

Namun, untuk Nana sepertinya ia harus menghapus dari daftar. Bukan karena tak menganggap Nana, tetapi alasan tepat karena perbedaan gender.

Sudah Erlan katakan, ini terlalu sensitif. Namun, Nana juga cukup ambil andil, karena perempuan itu yang bertanggung jawab untuk kebersihan dan kerapian rumah ini.

"Mas," panggil Nana dari belakangnya.

"Hm?" Erlan tidak menoleh.

"Hari ini saya mau ngerjain tugas lagi di kos Angel," pamitnya.

Erlan segera menoleh. "Lagi?"

Nana mengangguk.

"S'kali-kali ajak Angel dan Karin buat ngerjain tugas di sini, jangan lo mulu yang ke sana."

Wajah Nana cemberut karena perkataannya. Erlan bukan tak mengizinkan Nana bergaul di luar sana, tetapi pikirkan juga untuk pulang. Dalam seminggu, terhitung cuma dua malam Nana tidur di apartemennya.

"Kalau di sini, pasti nggak bisa berisik," alasan Nana.

Ya, itu senjata pamungkas. Namun, kali ini Erlan harus menolak alasan tersebut. Lagi pula, ini hari Minggu, waktunya santai. Di zaman kuliah dulu, Erlan tak sesibuk Nana yang selalu saja bicara tentang tugas.

"Kalian mau ngerjain tugas atau karaokean?" sewot Erlan, "pake alasan berisik segala."

Nana menghela napas, lalu beranjak dari sana. Erlan kembali memandang ke arah balkon, rasanya sudah lama tidak berselisih paham dengan Nana. Seminggu penuh, Nana sibuk dengan tugas kuliah, sedang ia sibuk dengan pikiran buruk.

Suara hentakan buku ke atas meja membuat Erlan menoleh. Nana duduk di lantai sambil bersandar pada sofa, lalu meletakan laptop di atas meja di hadapannya.

"Tugas lagi, Kak?" tanya Uchi.

Perempuan itu mengangguk. "Iya." Nana menjawab dengan wajah ditekuk.

"Semangat!" ujar Uchi, "Bang, aku jalan dulu."

Erlan mengangguk memberikan izin pada Uchi.

Nana melihat ke arah adiknya. "Uchi mau ke mana?"

Perempuan yang sedang sibuk mengenakan sepatu itu menoleh. "Nonton sama teman."

Nana membulatkan bibir.

"Bye, Kak Nana!" Setelahnya, pintu tertutup rapat.

Kini, hanya tinggal mereka berdua di tempat ini. Erlan kembali menghadap balkon, merasakan semilir angin yang masuk membawa wangi sabun dari pakaian yang dijemur.

Rasanya ada yang beda. Dulu, ia dan Nana sering berdua saja di apartemen, dan itu tidak membuat Erlan gelisah seperti ini.

Mungkin, Nana tidak merasakan apa yang ia rasakan sekarang, tetapi ini benar-benar mengganggu pikirannya.

Erlan mengeluarkan ponsel, lalu menelepon Dino. "Lo sibuk, ke apartemen sekarang." Setelahnya mengatakan beberapa kalimat itu, Erlan mematikan sambungan telepon. Ia menghela napas.

Punggung terasa sedang diperhatikan, tatapan itu menusuk hingga membuat Erlan sadar bahwa Nana sedang melihat ke arahnya.

Erlan menoleh. Benar. Perempuan itu menatap dengan wajah polos, tanpa bersuara. Lalu, kembali fokus pada buku-buku di atas meja.

Pressure : Jodoh Dari DesaOnde histórias criam vida. Descubra agora