33. Jemputan Nana

2.3K 286 29
                                    

Erlan mengetuk jari telunjuknya pada setir mobil. Ia bersandar, mengambil posisi nyaman sambil sesekali melirik ke arah jendela.

Tempat parkir sudah banyak dipenuhi oleh mahasiswa, sedang orang yang ditunggu belum juga muncul. Erlan mengangkat tangan kiri yang dilingkari arloji. Matahari mulai tergelincir, mana mungkin masih ada perkuliahan di jam segini.

Menghela napas, segera ia mengambil ponsel yang di lempar begitu saja di atas dashboard. Erlan menelepon Nana, mencari tahu keberadaan perempuan itu.

"Kak Nana mungkin masih ngerjain tugas sama temannya," kata Uchi yang sedari tadi setia menunggu bersamanya.

Ya, sebelum ke kampus Nana, Erlan ke sekolah Uchi dulu untuk menjemput adiknya itu.

"Di mana?" tanya Erlan, saat telepon tersambung.

Ia mendengar dengan saksama apa yang dikatakan Nana. Setelah tahu di mana perempuan itu, Erlan menghela napas.

Ternyata, Nana sedang berada di kos temannya. Perkuliahan sudah berakhir siang tadi, dan perempuan itu menumpang menunggu Erlan menjemput di kos tersebut.

Yah, kata Nana sambil mengerjakan tugas bersama.

"Udah selesai belum tugasnya?" Kembali bertanya. "Ya, udah, gue jemput sekarang, tunggu di luar." Setelah mendapat kepastian dari Nana, Erlan mematikan sambungan telepon.

Ia kembali menyalakan mesin mobil, tetapi tindakannya berhenti tatkala seseorang mengetuk jendela samping.

Erlan melirik. Alexa. Sudah ia duga, perempuan itu ada di kampus yang sama dengan Nana.

Menyebalkan. Mungkin, ini menjadi hari terakhir ia bisa menjemput Nana. Yah, karena tak ingin bertemu Alexa.

Selain itu, Alexa adalah orang pilihan ibunya. Tak menutup kemungkinan, rahasianya akan cepat terbongkar karena kehadiran makhluk gaib ini.

Erlan tak peduli. Ia segera menyalakan mesin mobil, lalu pergi dari sana. Persetan dengan wajah Alexa yang kini terlihat kesal. Ia tak mengenal Alexa lebih dari 30 menit. Jadi, untuk apa menghargai?

"Itu siapa, Bang?" Pertanyaan itu datang dari Uchi.

Erlan menarik napas sejenak, menyiapkan diri menjawab pertanyaan Uchi. Jujur, ia sama sekali tak sanggup mengatakan ini. "Cewek yang ibu kenalin ke Abang."

Ada suara terkejut di sana. Uchi sampai menahan diri dengan membekap mulut sendiri. "Modelan kayak gitu? Kayak tante-tante, dia dosen?"

Erlan terkekeh, sangking lucunya pertanyaan polos sang adik. "Bukan, dia mahasiswa," jawabnya dengan menahan tawa.

"Oooh. Habisnya, dandanan heboh banget. Ibu mungut calon dari mana, sih?"

Erlan hanya mengedikan bahu. Sungguh, ia juga bingung dengan pilihan ibunya. Erlan lebih suka cewek yang terlihat lucu, daripada glamor.

"Andai, kita bisa request jodoh ke ibu. Sayangnya, dia nggak pernah mau dengerin kita," keluh Uchi.

Melirik. Erlan mendapati adiknya yang fokus ke kaca jendela. Pantulan bayangan Uchi terlihat di sana, wajah sang adik muram. Yah, ia juga akan memiliki ekspresi seperti itu, jika hal buruk tersebut datang lagi padanya.

Hidup dikekang oleh ibu, memilih jalan sendiri tak boleh. Jika bisa, Erlan tidak ingin lahir dari rahim ibunya. Bukan hanya ia, adiknya pasti memikirkan hal yang sama.

"Itu Kak Nana." Uchi menunjuk ke arah depan, di mana Nana berdiri di depan gang.

Jujur, setelah bertemu Alexa, pidatonya untuk menceramahi Nana—musnah seketika.

Pressure : Jodoh Dari DesaNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ