13. Terpaksa

4.1K 400 11
                                    

Membuka pintu apartemen, satu tangan Erlan kini sibuk merenggangkan dasi yang melingkar pada leher.

Pekerjaan kantor belum juga ada habisnya. Padahal, ia hanya mengambil libur setengah hari saja, tetapi itu sudah sangat berefek dengan pekerjaan di hari esoknya juga, hingga membuat Erlan tidak pulang ke apartemen selama dua hari.

Sebenarnya, ini sangat menguntungkan bagi Erlan. Apalagi, isi kepalanya yang masih dipenuhi oleh berita pertunangan sang mantan kekasih.

Erlan bisa memfokuskan diri pada pekerjaan yang menumpuk, tanpa memikirkan berita itu dan masalah di apartemen yang sama yang sudah dua hari ini tidak menganggunya.

Ya, masalah di apartemen hanyalah Nana. Selama di sini masih ada Dino, ia bisa mengandalkan lelaki itu.

"Eh, udah pulang lo?" sambut Dino yang duduk di kursi makan, saling berhadapan dengan Nana.

Suara kursi digeser terdengar. Nana bangkit dari duduk, lalu menuju kamar.

Melihat itu, Erlan malah mengerutkan kening. "Dia kenapa?"

Lawan bicaranya berdecak. "Sebelum lo sibuk banget sama pekerjaan kantor, lo bikin dia marah, 'kan?"

Sambil mengingat, Erlan menarik kursi di sebelah Dino, lalu duduk di sana. "Oh, yang itu? Gue nggak jemput dia?"

"Iya."

Ia mendengkus. Bukan masalah besar-selama dalam keadaan masih marah, Nana tidak mengancam untuk membakar apartemen. Namun saat itu terjadi, bukan berarti Erlan juga harus mengalah pada perempuan itu, dan membujuk agar tidak marah lagi. Di mata Erlan, Nana tetaplah Nana.

Tangan Erlan menggapai satu piring untuk digunakan makan. Ia tak memikirkan lagi apa yang ada di atas meja dan dari mana asalnya. Jika Dino makan dengan lahap, itu berarti tak ada racun di sana.

"Ini Nana yang masak," kata Dino.

Erlan hanya mengangguk. Ia sudah terlalu lapar untuk menggubris lawan bicaranya.

"Lo belum ngasih keputusan, mau ke pesta Lala atau nggak?" Kembali Dino buka suara.

Bukannya menjawab, Erlan malah menyuapkan makanan ke mulutnya. Ia tak ingin membahas dulu masalah ini. Lagi pula, pestanya masih dua hari lagi. Itu waktu yang lama untuk membuat keputusan.

"Ya, udah, habisin dulu makanan lo." Dino menyerah, lelaki itu berdiri dari duduk. "Habis ini, bujukin Nana biar nggak ngambek lagi, mumpung lo masih di sini."

"Emang penting?" tanyanya sambil mengambil lagi satu potong ayam goreng kecap, "itu nggak bakal berpengaruh sama hubungan lo dan dia, yang tiap hari bareng Nana, kan, elo, bukan gue."

Dino berdecak. "Buset, ya, nih, orang ...."

Erlan melanjutkan makan. Pertanyaan tentang Nana tidak akan mempengaruhi selera makannya, walau hanya secuil saja. Berbeda dengan pertanyaan tentang Lala, jangankan makan, untuk bernapas saja rasanya susah.

"Lo masih ngarepin Lala?"

Pertanyaan itu membuat tangan Erlan berhenti di udara. Sebenarnya tak perlu dijawab pun, Dino sudah tahu. Lelaki itu adalah orang paling mengerti tentangnya.

"Penting, gue jawab sekarang?" Erlan bertanya balik.

Dino menghela napas. "Semuanya aja lo anggap nggak penting, sebenarnya lo hidup untuk siapa, sih?" Terdengar kesal. "Habis lo makan, bujukin Nana, tuh, gue juga kena imbas, asal lo tahu!"

Erlan hanya melirik. Dino berbaring pada sofa panjang, sandaran sofa tersebut menghalangi pandangan Erlan pada lawan bicaranya.

Hubungan yang tidak akan menjadi musuh adalah hubungannya dan Dino. Jika itu teman-temannya yang lain, pasti sudah pergi jauh tanpa kembali lagi.

"Gue bakal bicara sama Nana, tapi habis makan." Erlan hanya tidak ingin membuat segalanya rumit, apalagi harus hidup sendiri tanpa pertolongan sahabatnya. "Lo denger, 'kan?"

"Iya, denger, lo pikir gue budek?" sahut Dino.

______

Mengetuk pintu kamar Nana, Erlan menunggu perintah masuk dari dalam kamar. Yang membuat ia melakukan ini bukanlah niat untuk berbaikan dengan Nana, tetapi karena mata Dino yang sejak tadi sedang mengawasinya.

Erlan ingin hidup dengan mudah. "Woi, bukain." Ia kembali melihat pada Dino. "Lo lihat? Dia nggak mau."

Setelah mengatakan itu pada Dino, suara pintu terbuka terdengar. Erlan seketika menoleh. Nana di sana, menatapnya terkejut. Segera perempuan itu mencoba menutup kembali pintu kamar, tetapi Erlan sigap untuk menahan.

"Gue cuma mau ngomong ke lo sekali doang, itu pun karena Dino," katanya sambil menatap Nana tegas.

Ia tak ingin berlama-lama mengikuti drama Nana. Tidak ada gunanya dan sangat buang-buang waktu.

"Ekhem, tutup lagi, Na," titah Dino pada Nana.

"Wei, lo—" Ucapan Erlan tertahan, karena wajah Dino saat itu sangat serius, tidak ada kata bercanda. "Oke, gue nyerah! Ayo, kita ngobrol."

Nana berhenti mendorong pintu. Erlan menatap mata si tukang onar itu tepat pada manik. Ia harus menuntaskan ini sekarang, jika terus berkelanjutan, Dino tidak akan mau bersahabat dengannya lagi.

"Gue minta maaf." Setidaknya, tiga kata itu sudah berusaha ia keluarkan dari mulutnya.

"Iya," balas Nana, lalu mencoba menutup pintu lagi.

"Lo ngapain, sih, di dalam kamar mulu?" kesal Erlan, kembali menahan pintu yang akan ditutup si tuan kamar.

"Nonton drama, mau nonton juga?"

Erlan berdecak, ia sangat menyesal menanyakan hal itu. "Nggak." Kemudian beralih pada Dino. "Udah, gue udah minta maaf, lo mau apa lagi?"

Dino nampak berpikir. "Hm ... gimana kalau lo ajak Nana ke pesta pertunangan Lala."

"Gila lo!"

"Pesta?" pekik Nana yang masih berada di pintu kamar. "Saya diajak?"

"Nggak." Erlan menjawab pertanyaan Nana, lalu berjalan ke arah Dino.

"Ajak aja, lah ...."

Ia menarik kursi makan. "Lo gila? Di sana pasti banyak orang yang gue kenal, bayangin kalau mereka ngepoin hidup gue."

Dino berdecak. "Bilang aja teman lo."

"Terus, gimana kalau misalnya berita gue bawa teman perempuan ke pesta Lala, malah tembus ke nyokap gue? Pas Kak Dinda datang ke sini tiba-tiba aja gue nggak bisa gerak."

Lawan bicaranya terkekeh. "Untung aja, pas Kak Dinda ngintip ke kamar Nana, Nana lagi di belakang pintu."

Erlan hanya mendengkus. Kejadian yang sangat menegangkan itu terjadi dua hari lalu. Memang sudah lewat, tetapi adrenalinnya masih terasa sampai sekarang.

"Jadi, saya diajak atau tidak?" tanya Nana yang masih setia menunggu keputusan Erlan.

Erlan menggeleng sebagai jawab. "Enggak, lo banyakin stok drama aja, biar nggak bosan di dalam kamar."

Itu merupakan saran yang tepat, agar Nana tidak merajuk lagi karena tak diajak ke pesta. Lagi pula, Erlan masih tidak tahu ia akan pergi atau tidak. Keraguan untuk mengambil keputusan, selalu menyelimutinya.

"Kasihan Nana, jadi penjaga apartemen," ledek Dino.

"Huh! Belum juga mati, udah jadi penghuni gedung." Nana membalas.

Erlan menelik pada perempuan itu. "Masih mending penghuni gedung, daripada penghuni jembatan."

Entahlah, padahal Erlan tidak ada maksud melucu pada kalimat yang dilontarkannya tadi, tetapi itu malah membuat Dino tertawa keras. Ada-ada saja.

_____

05.02.20

Hehe! 🤭 Baru punya kuota. Aku seminggu ini bakal ninggalin rumah, gak ada wifi.

Yang sabar nungguin update.

Pressure : Jodoh Dari DesaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora