56. Fakta?

3.7K 350 62
                                    

Berkutat dengan pekerjaan, penghuni ruangan ini tidak memedulikan jarum jam yang terus berputar. Di luar sudah gelap, bahkan gedung lain sudah tidak terlihat aktivitas sama sekali.

Jika dilihat dari luar, ruangan Erlan mungkin akan menjadi satu-satunya tempat bercahaya di gedung ini.

Bukan alasan kecil mengapa Erlan bekerja keras sampai tak ingat waktu. Ada janji yang harus ia tepati pada Nana untuk menemani pulang kampung akhir Minggu ini.

Erlan tidak mungkin mengingkari janjinya pada perempuan yang ia cium secara sadar kemarin malam. Mengingat itu lagi membuatnya tersenyum.

Bibir Nana sangat lembut. Bodoh, jika ia tidak ada niat untuk mengulangi sekali lagi. Penolakan memang akan ada dari Nana, tetapi itu tidak menjadi penghalang baginya.

Erlan kuat. Sekeras apa pun Nana menolak, ia pasti bisa merebut.

Mengingat Nana, membuatnya menoleh ke arah jam dinding. Perempuan itu pasti sedang tidur atau sedang mengerjakan tugas.

Hubungan mereka sudah lebih baik. Nana memang tidak bicara padanya, perempuan itu lebih pada menghindar karena malu. Itu menjadi kesempatan Erlan untuk menggoda. Setelahnya, Nana akan merespons dengan risi.

Erlan berdecih mengingat itu. Otaknya malah memilih bekerja memikirkan Nana, ketimbang menyelesaikan pekerjaan sebelum tengah malam.

Perlu Erlan akui, Nana sudah merampas pikirannya sejak malam mereka tidur berdua di ruang TV dan ciuman kemarin malam.

Ya, Erlan mencium Nana karena sudah ada niat besar di hatinya. Bukan untuk mengajari perempuan 19 tahun itu beradegan mesum, tetapi ia hanya ingin menyalurkan hasratnya saja, yang tidak mau berteman karena ingin secepatnya mendapatkan Nana.

Sangat ingin, hingga ia tak bisa menahan lagi.

Suara pintu terbuka membuatnya menoleh. Dino berdiri di sana. Erlan segera menoleh ke arah jam yang menunjukan pukul 22.01.

Jelas, ini menjadi pertanyaan mengapa Dino dengan senang hati mengunjunginya selarut ini? Lelaki itu ada kepentingan tergesa?

Dino mendekat, ekspresi itu tidak bisa diartikan oleh Erlan. Entah senang, sedih, kecewa, tegang, terkejut, gelisah, atau marah.

"Tumben, datangnya malam." Basa-basi untuk menyambut Dino.

Lelaki itu duduk di hadapannya, memandang masih dengan ekspresi yang susah ditebak.

"Lo ambil minum dulu, deh, baru ngomong," kata Erlan, sambil menghentak dagu ke arah kulkas.

Dino berdecak. "Malam, lo nawarin gue minuman dingin?"

Erlan terkekeh. Itu hanya upaya untuk membuat Dino sadar dari pikirannya sendiri. Seberat apa beban itu, sampai membuat Dino repot datang padanya?

Ya, Erlan sadar, ia adalah satu-satunya tempat di mana Dino berlari, tetapi untuk datang di malam hari, ini bukanlah kebiasaan Dino.

"Jadi, apa yang bawa lo ke sini?" Erlan bertanya, pada lawan bicara yang malah lebih memilih melihat ke arah jendela daripada menghadapnya.

Dino menghela napas, sekilas melirik Erlan. Masalah besar. Ia bisa lihat itu dari ekspresi sahabatnya ini.

"Er," panggil Dino, "lo bisa ngingat kejadian di malam itu lagi?"

Dahi Erlan mengerut. "Malam yang mana?"

Ada banyak malam yang ia lewati, dan yang paling terpahat jelas adalah saat di mana ia tidur bersama Nana dan ciuman itu. Hanya itu saja, malam yang lain ia tak ingat.

"Pas lo dijebak Alexa."

Erlan langsung melengos tak suka. Siapa yang akan mengingat malam itu lagi? Hanya orang bodoh.

Pressure : Jodoh Dari DesaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang