58. Positif

7K 433 54
                                    

Tidak ada kata yang bisa terucap oleh Nana tatkala melihat senyum Erlan yang sejak tadi tak ingin lepas dari bibir indah itu.

Hari ini, dengan diyakinkan lelaki itu berkali-kali, ia mau menginjakan kaki ke gedung dominan berwarna putih ini.

Hasilnya, positif. Itulah yang membuat Erlan tidak melepas senyum sejak tadi, sedang Nana tidak tahu harus berekspresi seperti apa. Ini pertama kali baginya. Degdegan? Tentu saja. Bahkan Nana ingin sekali kabur ke dunia lain sangking mencekamnya hari ini.

Di satu sisi ia bahagia, meskipun persentasenya minim. Namun, di sisi lain ia juga masih ragu. Nah, bagian ini yang memiliki persentase paling banyak.

"Hari ini kuliah?" tanya Erlan.

Nana hanya mengangguk. Berjalan, dengan tangan yang dipegang erat oleh lelaki itu, bukan tidak mungkin membuat Nana diserang rasa gugup.

Apalagi, sekarang pikirannya dipenuhi oleh fakta bahwa ia sedang mengandung benih dari Erlan. Andai saja bisa bertukar tempat, Nana yang jadi laki-laki dan Erlan menjadi perempuan, mungkin ia tidak akan berada di posisi membingungkan seperti ini.

"Tadi aku parkir mobilnya di mana, ya?" tanya Erlan lebih pada diri sendiri.

Sangking bahagianya lelaki itu, sampai lupa di mana memarkir benda kesayangan yang lebih lama menemani ketimbang dirinya.

Nana menunjuk ke arah deretan mobil. "Sana."

"Oh, iya." Erlan kemudian membawanya ke arah yang ia tunjuk tadi.

Begitu senangnya Erlan, bahkan senyum itu sampai tersalurkan pada beberapa orang yang melewati mereka. Apalagi genggaman tangan ini, pasti sudah banyak yang berbisik-bisik betapa mesranya mereka berdua.

Nana gerah dengan tingkah Erlan. Sampai tepat di samping mobil, di mana Erlan membukakan pintu untuknya, ia langsung mengambil alih benda itu.

"Biasa aja!" bentak Nana.

Erlan menatapnya dengan tatapan bertanya.

Tidak mengerti atau memang sedang tidak sadar? "Nggak usah sok lembut! Ngeselin aja seperti biasanya, nggak enak kalau nggak ada yang bisa diajakin ribut!"

Nana kemudian masuk ke mobil, tidak lupa membanting pintu tepat di depan Erlan. Ekspresi lelaki itu berubah, dari senyum bahagia menjadi tatapan bingung dan penuh tekanan.

Beberapa detik berlalu, Erlan masih diam di tempat. Setelah sadar, lelaki itu mengitari mobil untuk sampai di kursi kemudi.

Nana melirik, Erlan tersadar akan tatapannya, lalu mendekatkan tubuh ke arah Nana. Jelas, ia akan menghindar, apa-apaan ini?

"Pakai seatbelt-nya," kata Erlan, lalu menarik tali itu untuk dipakaikan kepadanya. "Udah."

Lelaki itu kemudian menjauh, lalu mulai menyalakan mobil. "Mau langsung ke kampus?"

"Anterin ke kos Angel aja," jawab Nana.

Erlan melirik. "Kok?" Mobil mulai bergerak.

"Hiiish, daripada nungguin jam kuliah sendirian di kampus."

"Oooh, ya, udah." Kemudian mengambil ponsel, lalu mengotak-atik sedikit.

"Mau nelpon siapa?" tanya Nana curiga.

"Angel, biar dia bisa jaga—"

Nana seketika menarik ponsel tersebut. "Apaan, sih, Mas. Iiiiih!" Kemudian mematikan sambungan telepon.

"Loh, kok, dimatiin?"

"Mas emang mau bilang apa sama dia?" kesal Nana.

"Cuma mau bilang buat jagain kamu aja. Kamu, kan, lagi ham—"

Pressure : Jodoh Dari DesaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang