31. Perempuan Lain

3K 290 21
                                    

Erlan merapikan jas yang dikenakannya. Tatapan mendongak, memperhatikan Nana yang kini memakaikan tas sekolah pada Uchi.

Kemarin, Erlan menyuruh orang rumah untuk membawakan kebutuhan serta peralatan sekolah adiknya. Seperti yang ia tebak, Nana dengan senang hati mengurus Uchi, karena adiknya itu masih takut untuk melakukan sendiri.

Ya, itu semua akibat tekanan dari sang ibu. Mengajak Uchi hidup dengannya adalah langkah yang tepat.

"Kok mukanya kusut gitu, sih? Semangat!" kata Nana, "di sekolah nanti, kan, ketemu Bara."

"Woy." Erlan menegur.

Nana menatapnya tajam. "Apa, sih, Mas? Di sekolah doang, bukan di rumah. Emang ibunya Mas Erlan kepala sekolah? Sampai harus ngawasin juga ke sana?"

Erlan berdecak. Situasi sudah berubah. Ia kenal betul seperti apa ibunya, sudah pasti wanita itu akan mempekerjakan mata-mata untuk tetap mengawasi Uchi.

"Lo nggak ngerti situasi, Nana ...."

Perempuan itu mencebik. "Mas juga nggak ngerti perasaan Uchi sekarang. Udahlah, nanti Uchi telat." Nana segera menarik tangan adiknya itu.

Erlan menggeleng sambil menghela napas pasrah. Paginya akan repot mulai hari ini, mengantar Uchi ke sekolah dan juga Nana ke kampus.

Kabar baik. Hari ini, Nana mulai aktif kuliah. Erlan penasaran, bagaimana perempuan itu mengerjakan tugas kuliahnya nanti.

Memikirkan itu saja sudah membuat Erlan terkekeh, saat menutup pintu, sampai ia menyita perhatian salah satu penghuni gedung apartemen tersebut.

Nana dan Uchi sudah menunggu depan lift, Erlan melangkah menuju keduanya. Saat kaki tiba di samping mereka, saat itu pula lift terbuka.

Ketiganya masuk. Nana masih memegang tangan Uchi, seperti memberi kekuatan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Erlan tersenyum tipis saat melihat itu. Ia tak menyangka, Nana bisa mengalirkan energi positif juga.

"Ini, nih, baru. Kisah cinta Romeo dan Juliet dimulai," sindir Erlan, membuat kedua pasang mata itu menoleh padanya.

Nana mendengkus. "Jangan samakan, ini beda cerita."

"Dih, cinta tak direstui. Emang sama, 'kan?"

"Beda di ending!" kesal Nana.

Erlan mengalihkan pandangan. "Halaaah ... paling juga sama."

Kembali Nana menatapnya tajam. "Nggak!"

"Sama."

"Nggak!"

"Sama aja, Nana, gue pernah ngalamin," kata Erlan.

Mata Nana memicing. "Buktinya Mas masih hidup. Bukannya Romeo dan Juliet mati?"

Erlan menelan ludah, lalu memutuskan menghadap depan untuk menghindari pertengkaran berikutnya antara ia dan Nana. Yah, anggap saja dia mengaku kalah.

"Ciye ... yang kalah," ledek Nana.

Hanya dihadiahi dehaman oleh Erlan. Di detik kemudian, suara tawa geli Uchi terdengar. Ia menoleh ke adiknya dengan mata yang memicing heran.

Sejak kedatangan sang ibu kemarin, Uchi terus diam tanpa bersuara. Wajah muram jadi andalan. Erlan sempat khawatir, jikalau adiknya memikirkan sesuatu yang buruk untuk dilakukan.

"Kenapa kamu ketawa?" cerca Erlan.

Uchi mendongak dengan wajah bingung. "Pengin aja."

"Nggak ada mikirin aneh-aneh, 'kan?"

Adiknya menggeleng sebagai jawaban.

"Terus, kenapa ketawa gitu?"

Erlan sangat khawatir, terlebih ia dan Nana sempat membahas tentang Romeo dan Juliet. Bukannya apa, Erlan pernah ada di fase ini. Akal sehat seakan diadu domba dengan perasaan—yang masih ingin hidup, dan bertemu cinta pertamanya sekali lagi. Lala.

Pressure : Jodoh Dari DesaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang