14. Pergi atau Tidak?

4.1K 374 19
                                    

Tatapannya jatuh pada arloji yang melingkar pada lengan tangan. Sejak tadi, ia bimbang untuk memutuskan suatu hal. Di satu sisi ia ingin pergi, tetapi di sini lain ia tak ingin kecewa.

Erlan menghela napas kasar. Berpakaian rapi layaknya seorang pangeran, sudah berlangsung selama setengah jam lamanya.

Sejak tadi, Doni terus mengabarkan lewat ponsel tentang keadaan pesta pertunangan mantan pacarnya. Lelaki itu juga memaksa untuk datang. Paling tidak, mereka bisa reuni bersama teman-teman SMA.

Suara denting piring yang beradu dengan sendok membuatnya menoleh. Nana tersenyum padanya. Erlan baru sadar, ia salah memilih tempat untuk melepas perasaan galau ini. Apartemen bukanlah ide yang bagus.

Namun, ia juga tak mungkin berada di rumah, saat pikirannya hanya dipenuhi oleh sang mantan kekasih. Bisa-bisa, ini akan menjadi pertanyaan bertubi-tubi dari sang ibu.

"Mas, kalau nggak mau pergi, mending tidur aja," kata Nana dari kursi makan.

Erlan tak membalas. Jika ia terpancing untuk mengucapkan satu kata saja, Nana akan menyerbunya dengan seribu satu kata.

"Gini, ya, Mas, dari tadi Mas Doni nanyain Mas mulu."

Apa yang dikatakan Nana belum terlalu memancing nalurinya untuk menanggapi.

"Lagian, pergi pesta aja mesti mikir-mikir." Perempuan itu berkata lagi.

Erlan menghela napas. Andai Nana tahu siapa yang sudah mengundangnya ke pesta ini, pasti perempuan itu akan lebih meledeknya.

Nana masih mengunyah. "Gini, ke pesta cuma buat makan doang, 'kan? Nih, di sini juga banyak makanan, mi instan." Diakhiri dengan tawa.

Lelucon itu benar-benar tidak membuatnya tertawa. Erlan kembali fokus pada arloji.

"Ya, udah, kalau Mas nggak pergi, biar saya yang ngewakilin."

"Lo bisa diem, nggak, Na?" Akhirnya, kekesalan Erlan keluar juga.

Hal ini malah mengundang tawa lawan bicaranya. "Aku pikir, Mas, udah nggak bernyawa lagi."

Erlan mendengkus. Padahal, ia sudah berusaha membuat pertahanannya tidak runtuh, tetapi semua menjadi berantakan karena Nana yang menawarkan untuk mewakili kehadirannya di pesta malam ini.

Gila saja jika itu terjadi. Erlan tak bisa membayangkan, bagaimana jika Nana dengan entengnya berjalan ke arah Lala untuk bersalaman memberikan selamat, dan menyebutkan bahwa kehadiran perempuan itu merupakan bentuk perwakilannya yang tak bisa hadir.

Erlan menggeleng. Situasi malah akan semakin menjadi buruk. Sejak undangan itu dibacanya, ia berusaha bersikap tenang dengan menguatkan hati, bahwa ini hanya pertunangan, belum menikah, ia masih punya banyak waktu untuk merebut Lala kembali.

Namun, semua harapannya itu akan musnah, jika Nana dengan entengnya memperlihatkan wajah di depan umum, sama seperti yang dibayangkan Erlan tadi.

Suara kursi digeser, dan tak lama kemudian suara air mengalir dari keran menguasai apartemen tersebut. Tidak perlu menoleh ke belakang, Nana sudah selesai makan, ia tahu itu.

"Mas, saya mau jalan-jalan ke mal sebelah, boleh, 'kan?" pamit Nana.

"Hm," balas Erlan.

Ya, Erlan sudah memberikan kebebasan untuk Nana keluar apartemen, meski tanpanya. Itu akan lebih baik. Yang berbahaya adalah jika mereka keluar bersama.

"Oke!" Setelah itu, hanya suara langkah kaki Nana menuju kamar yang tercipta di ruangan itu.

Hening. Dalam keheningan pun, Erlan tak bisa mengambil keputusan untuk datang ke pesta atau malah menunggu Nana pulang dari bersenang-senang di mal.

Pressure : Jodoh Dari DesaWhere stories live. Discover now