50. Malam Bahagia

5.7K 385 64
                                    

Langkah itu ragu untuk keluar kamar. Apa salahnya mencoba? Erlan hanya ingin semua kembali normal. Jika kemarin malam ia dihantui rasa tak nyaman, kali ini Erlan berusaha membuang semuanya.

Ia ingin semua ini segera berlalu. Tak ada lagi Nana yang mendiaminya dan tidak ada lagi Erlan yang segan bicara pada Nana.

Masih seperti malam kemarin, Nana duduk di ruang TV untuk mengerjakan tugas. Nana memang seperti itu, tidak ingin buang-buang waktu. Hari ini diberikan tugas, hari itu juga tugasnya harus dikerjakan. Katanya, biar tidak menumpuk.

Erlan pelan membuka lebar pintu. Suara berderit, tidak membuatnya menghentikan niat untuk keluar kamar.

Ternyata, suara pintu membuat targetnya menoleh. Nana melihat ke arahnya.

"Mau minum," alasan Erlan, agar Nana tidak berpikiran lain.

Perempuan itu kembali menghadap laptopnya, sedang ia melirik sedikit demi sedikit saat melangkah menuju dispenser.

Hari ini, Dino belum memberi kabar apa pun. Untuk itu, ia akan lakukan sendiri. Bukan mencari tahu apa yang membuat Nana berubah, tetapi hanya ingin mengajak Nana mau bicara lagi padanya.

"Mas," panggil Nana.

Erlan yang sedang menikmati air melewati tenggorokannya—memutuskan untuk langsung menoleh.

Tanpa ia bertidak lebih, Nana malah berniat mengajaknya bicara lebih dulu. Ini suatu keajaiban atau Erlan yang payah? Karena tidak sanggup untuk memulai duluan.

"Bisa bicara bentar, nggak?"

Erlan mengangguk kecil. Gelas ia letakan di atas meja makan, lalu melangkah ke arah Nana.

"Apa?" tanya Erlan, duduk di sofa dekat Nana.

Perempuan itu masih mendongak untuk bisa melihatnya. "Libur semester nanti, saya bisa pulang kampung, nggak?"

Erlan diam sebentar. Ada rasa terkejut dan juga senang. Ini permintaan pertama Nana untuk pulang kampung. Sebelumnya, perempuan itu tidak pernah meminta bahkan mengingat saja tidak.

Ia tersenyum dalam diam. Jadi, ini yang membuat Nana berubah? Rasa rindu pada keluarga? Ah, sepertinya Erlan tak membutuhkan Dino lagi untuk menyelidiki masalah ini.

"Nggak boleh, ya?"

Pertanyaan itu menyadarkan Erlan dari lamunannya. Berapa detik ia habiskan untuk berunding dengan pikiran sendiri sampai tidak menggubris permintaan Nana?

Sebenarnya, Erlan juga bingung akan memberikan persetujuan atau tidak. Namun, ia juga ingin melihat Nana kembali ceria seperti dulu lagi, mungkin ini jalan satu-satunya.

"Boleh." Ya, Erlan sudah memikirkan ini matang-matang. "Entar Mas juga ikut."

Nana segera menggeleng. "Saya bisa pulang sendiri. Lagian, Mas juga harus kerja."

Erlan tersenyum tipis. "Nggak apa-apa, kantor punya sendiri juga."

"Kalau dicariin ibu Mas?"

Erlan diam lagi. Ia tidak bisa berpikir jernih, karena ucapan Nana. Sudah pasti itu akan terjadi. Ibunya sangat licik, kekuasaan itu tidak akan bisa membuat Erlan bisa hidup tenang.

"Ya, udah, gue bakal antar dan jemput lo aja," putus Erlan.

Nana terlihat ragu, tetapi sesaat kemudian mengangguk setuju. "Baiklah, sampai terminal saja."

"Naik pesawat, bukan bus," protes Erlan.

"Ya, udah, deh, gitu aja." Jelas sekali terlihat, Nana tidak ingin lagi bicara padanya.

Pressure : Jodoh Dari DesaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang