•21•

637 55 3
                                    

Dian, Dwi, dan Rayyan bergegas memasuki kamar pasien dimana Rio berada. Suster yang sedang berjaga disana baru saja menangani Rio, dan kini laki-laki itu sedang pulas dalam tidurnya. "Mas nya baik-baik aja, Bu," ucap suster itu berusaha menenangkan Dwi yang terlihat sangat cemas sembari menangis.

"Maaf, apakah ini dengan keluarga pasien atas nama Mario Lee?" tanya suster itu. Dian mengangguk, "saya adiknya dan ini bunda kami."

"Informasi mengenai kesehatan Mas Rio akan langsung disampaikan oleh dokter Gani." suster yang berhijab putih lantas memberitahu bahwa kondisi Rio secara kasat mata memang terlihat baik, namun ada luka dalam yang dialaminya dan perlu pembicaraan khusus antara dokter dengan salah satu anggota keluarganya.

Dian berdiri tak tenang. Mendengar pernyataan suster membuat jantungnya berdebar dan pikirannya kalut, ia curiga sesuatu yang kurang baik menimpa Rio. Jari jemarinya saling bertautan dengan erat, ia juga berkali-kali menoleh ke arah Dwi yang masih memeluk Rio.

"Tenang, Di... InsyaaAllah bang Rio gak kenapa-kenapa," ucapan Rayyan menenangkan Dian. Namun, tak cukup ampuh menghilangkan gelisah dalam dirinya.

"Aku harus ketemu dokter Gani itu, sebelum bunda," Dian bergumam, suaranya terdengar samar di telinga Rayyan yang berdiri disebelahnya. Sementara, Dwi tak mendengar apapun selain tangisannya sendiri.

"Aku temenin Bunda kamu disini," balas Rayyan, berusaha memahami situasi yang terasa sulit bagi keluarga Dian.

Baru kali ini, Rayyan dan Dian menggunakan sebutan 'aku-kamu'. Sebutan yang aneh bagi mereka yang terbiasa menyebut satu sama lain dengan 'gue-lo'. Suara ini juga sedikit aneh di pendengaran Rayyan, mengingat sejak pertama kali mereka bertemu, mereka selalu berkomunikasi dengan sebutan 'gue-lo', khas logat Jakarta.

Tapi, itu sama sekali tidak penting.

"Makasih banget, aku.. gue bener-bener berhutang banyak sama lo, Ray..." gadis itu menahan air mata yang hampir menetes di pelupuk matanya.  Semua rasa ia pendam hingga dadanya terasa sesak dan sakit.

Rayyan tak tega melihat sorot mata Dian. "Dian, lo kalau mau nangis, nangis aja. Gue gak apa apa deh denger suara nangis lo daripada lo tahan, ga enak kan?", bisik Rayyan, ia mencoba sedikit menghibur Dian dengan nada bicara yang tak sama seperti Dian.

Detik itu juga, air mengalir dari pelupuk mata Dian. Namun, tak sampai 10 detik, ia seka kembali dan menarik napas panjang kemudian menghembuskannya. Ia tersenyum pada Rayyan, "gue kuat.." lantas, ia melangkah mencari ruang dokter yang bernama Gani itu.

Rayyan pun tersenyum melihat Dian yang sudah berhasil meluapkan air matanya yang tertahan dan gadis itu terlihat lebih kuat untuk menghadapi musibah ini.

Selama mencari ruang dokter Gani, Dian mengecek ponselnya dan sudah 28 kali menelepon serta mengirim 9 pesan kepada ayahnya. Namun, tak membuahkan hasil apapun. Dian semakin kesal kepadanya, bahkan ia ingin berkata bahwa ia membenci ayahnya sendiri.

°°°

Setelah sekitar 30 menit berbicara dengan dokter Gani, dokter yang menangani Rio, akhirnya Dian kembali ke kamar tempat Rio dirawat. Keadaan belum berubah, Rio masih tertidur karena efek obat dan Dwi masih se-segukan. Sementara, pandangannya tidak menemukan sosok Rayyan. Dian mengedarkan lagi pandangannya keluar kamar, tapi Rayyan juga tak terlihat.

"Rayyan lagi shalat ashar," Dwi yang melihat gerak gerik Dian memberitahunya bahwa Rayyan sedang sembahyang.

Dian sedikit terkejut sekaligus senang karena Dwi sudah mulai berbicara lagi, meskipun suaranya parau. Wanita itu juga tersenyum sembari mengelus punggung tangan Rio. "Beruntung ya kalian kenal Rayyan, anaknya baik banget, shalih juga, bunda kagum banget sama anak muda kayak dia,"

Jodoh Sekampus (On Going)Where stories live. Discover now