DUA PULUH

147 21 58
                                    

Suasana kantin selalu ramai di jam istirahat. Suara riuh berbagai orang membicarakan sesuatu terdengar seperti menyatu. Sembari menggumamkan sebuah lagu, Rio datang dengan membawa satu nampan berisi makanan miliknya dan Jean. Cowok itu terduduk di samping kiri Arga, sedangkan Jean duduk di depannya.

“Bismillah,” ucap Jean sebelum menyantap makanannya, membuat Arga dan Rio sontak saling menoleh.

“Bener-bener si Siti, temen gue jadi manusia bersih,” celetuk Rio.

“Emang lo kalau makan nggak ngucap bismillah, Jepri?” sahut Jean.

“Gue kristen, btw.”

“OH IYA!”

Pssst, pssst.” Rio menaik-turunkan kedua alisnya ke arah Jean, melupakan percakapannya dengan Jean sebelumnya. Di belakang sana, terdapat Alodie dengan Keenan. Mereka sedang berjalan masuk menuju kantin dan hendak duduk di salah satu bangku yang masih kosong. Dengan Keenan yang membawa satu buah buku paket digenggaman, Alodie tampak berseri membicarakan sesuatu. Mungkin tentang pelajaran.

Jean menoleh ke arah di mana Rio memberikan isyarat, sementara Arga sudah menyadarinya lebih dahulu dan kini tengah menatapnya dengan sorot mata yang tidak dapat diartikan. Jean kembali menatap ke depan, ke arah Arga yang masih saja mengarahkan pandangan ke arah Alodie dan Keenan.

“Yah … yang jaga perasaan lo doang, nih. Sementara, yang sana malah asyik umbar kedekatan sama cowok lain,” celetuk Jean, membuat Arga langsung memutuskan pandangannya dari Alodie.

“Padahal, yang sini nggak mau banget pihak sana salah paham soal Salsa,” timpal Rio.

“Apaan?” tanya Arga.

“Kasih paham, Je,” suruh Rio.

“Alodie, tuh, nggak niat ngejalanin tantangan lo, Ga. Fokus dia nggak cuma sama lo, malah justru lebih ke Keenan. Lo mati-matian jaga kesalahpahaman, sedangkan dia secara terang-terangan nunjukkin kedekatannya sama cowok lain,” jelas Jean.

“Ya, kan, emang gue bukan siapa-siapanya.” Meski mengatakan itu, tidak bisa dipungkiri bahwa Arga pun merasa kesal kepada Alodie. Cowok berarloji hitam itu tahu maksud Jean, dan ia pun setuju dengan itu.

“Terus? Lo ngapain capek-capek jaga jarak sama Salsa?”

“Karena emang kita nggak ada hubungan apa-apa,” jawab Arga seadanya, “gue nggak mau Salsa mikir gue ngasih harapan lagi ke dia.”

“Alasan yang masuk akal, bisa diterima,” sambar Rio di sela aktivitas makannya. Meski ia tahu, Arga hanya beralasan.

“Oke,” sahut Jean, “terserah gimana akhirnya nanti, gue sama Rio bakal dukung lo buat sekarang. Kita nggak mau dikira kurang support soalnya.”

***

Usai bel masuk berbunyi, Alodie dan Keenan kembali ke kelas masing-masing. Mereka berpisah di kelas XII IPA 1, yang berarti kelas Keenan, karena kelas Keenan lah yang memang lebih dekat dengan kantin. Alodie melambaikan tangannya sambil tersenyum, tentu dibalas hal serupa oleh Keenan. Cewek itu pergi tanpa tahu Arga melihatnya di dalam sana.

Perjalanan Alodie berlalu tidak lama dari setelah berpisah dengan Keenan, kelas mereka memiliki jarak yang tidak terlalu jauh. Dari jauh sana, mata Alodie melihat seseorang berdiri dan bersandar di dekat pintu kelasnya. Dahinya mengerut seketika.

Seseorang itu menegakkan tubuh saat Alodie sudah berada di dekatnya. Cowok berwristband di tangan kiri itu menunggu kedatangan Alodie di depannya. Langkah Alodie memelan dan perlahan berhenti. “Perasaan gue nggak enak kalau temen protektifnya si Arga nyamperin,” gumamnya sebelum akhirnya ia menggerakkan kembali kakinya untuk melangkah.

HATI untuk ARGAWhere stories live. Discover now