ENAM PULUH

87 17 2
                                    

Tepat lima menit Jean berdiri menatapi Arga yang terpejam. Alat-alat di tubuhnya, sungguh membuat hati Jean terenyuh. Sama seperti Alodie, untuk seorang periang seperti Arga, ia tak pernah mengira Arga serapuh ini. Cowok itu mendekat dan duduk di kursi, masih menatapi Arga tanpa suara. Ia tidak ingin membangunkan sahabatnya itu, dengan melihatnya sedekat ini saja itu sudah lebih dari cukup menenangkan hatinya.

Nabil, yang merupakan sahabat Jean juga melangkahkan kakinya. Ia berdiri di samping Jean yang terduduk. Matanya menyisiri tubuh Arga dari atas hingga ke bawah. Sebenarnya, sudah lama ia ingin bertemu dan mengenal Arga. Nama Arga memang sudah tidak asing baginya, Jean sudah sering menceritakan kehebatannya. Mangkanya, Nabil penasaran.

Namun, bukan di kondisi ini yang ia harapkan. Nabil ingin menemui Arga di kondisi terbaiknya, menyingkronkan keadaan aslinya dengan apa yang sering Jean ceritakan. Melalui cerita Jean, Nabil jelas mengaguminya. Hal itu yang membuat Nabil akhirnya berani mengambil keputusan besar ini, bahwa ia bersedia mengetes kecocokan hatinya dengan Arga.

Iya, Nabil akan mulai segala tesnya besok sepulang sekolah. Mengenai rencananya ini, Jean sama sekali belum memberitahu siapa pun termasuk Diana. Karena beberapa alasan, keduanya memilih untuk menyembunyikannya lebih dulu sampai tes kecocokannya keluar. Jean tidak ingin Diana tahu dulu, karena Nabil juga belum meminta izin kepada keluarganya. Jean tidak ingin saat Nabil bisa menjadi pendonor, Diana akan kecewa karena keluarga Nabil tidak menyetujuinya.

Sementara, Nabil juga tidak mau meminta izin lebih dulu kepada keluarganya, sebelum ia dipastikan akan menjadi pendonor hati untuk orang lain. Jadi, mereka mencoba mengetes kecocokan hatinya dulu, barulah akan memberitahu semuanya setelah hasil yang keluar cocok. Nabil memang tipikal orang yang nekat kebangetan.

Waktu yang sama, sepuluh menit adalah waktu yang diberikan dokter untuk menemui Arga. Jean dan Nabil kini keluar dari ruang ICU. Jangan pikirkan tentang bagaimana keluarga dan teman-teman Arga melihat Nabil, Jean sudah mengatur semuanya sehingga mereka tidak curiga, tidak banyak bertanya, atau justru tidak memberikan izin kepada Nabil untuk menemui Arga, mengingat Nabil adalah orang asing.

Selepas melihat Arga, Jean pamit untuk mengantarkan Nabil. Padahal, nyatanya mereka membahas untuk hari esok.

“Gimana cara lo bilang sama orang tua lo?” Pertanyaan itu milik Jean. Mereka kini berada di kantin rumah sakit untuk mengisi perut.

“Gampang,” sahut Nabil santai.

“Bil, ini bukan masalah kecil. Orang tua lo mungkin akan biasa aja ketika lo izin—nggak, donor darah rutin lo pasti nggak pakai izin lagi.” Nabil nyengir sebagai respons. “Tapi ini donor hati, Bil, mereka pasti kaget. Dan kenekatan lo kali ini benar-benar gila.”

Sejujurnya, Jean benar-benar dibuat bimbang. Ia ingin Arga mendapatkan donornya, tetapi Nabil juga sahabatnya. Jean tidak ingin terjadi apa-apa kepada Nabil.

Nabil yang baru saja menelan makanannya itu membenarkan duduknya. Ia melipat kedua tangannya di atas meja lalu menghela napas singkat. “Mereka yang ngajarin gue buat peduli sama sesama makhluk, Je, mereka juga yang harus terima kalau gue kayak gini. Lagi pula, donor hati nggak akan menjadikan gue sebagai manusia tanpa hati. Hati gue bakal tumbuh lagi.”

“Tapi—”

“Lo khawatir, ya, sama gue?” Nabil terkikik sambil mengibaskan sebelah tangannya. “Gue kuat, kok.”

“Terus, gimana sama voli lo? Lo bukannya lagi ngejar pelatihan masuk timnas?”

Dengan sisa-sisa tawanya, Nabil sedikit menunduk, memutar-mutar sedotan di dalam gelas berisi jus jeruknya. “Nggak usah khawatirin soal itu, gue juga kayaknya udah pesimis bisa dilirik gabung timnas.”

HATI untuk ARGAWhere stories live. Discover now