DUA PULUH DELAPAN

105 22 33
                                    

Percakapan bersama Keenan selesai dengan keputusan yang menggantung, kekurangan Alodie memang sedikit labil dalam mengambil keputusan. Alodie memang tidak memiliki perasaan kepada Keenan, tetapi hanya karena tidak ingin disamai dengan tiga cowok di masa lalunya, Alodie jadi memikirkan perasaan Keenan.

Kini Alodie kembali ke kelasnya untuk mengerjakan hukumannya, ia melihat Arga tengah mengepel teras kelas, padahal itu tugasnya. Cewek itu langsung berlari mendekat dan mengambil satu pel-an lainnya. Setelah membasahi dan memerasnya, baru ia menyusul Arga di samping kirinya. Tidak ada percakapan apapun yang keluar, Arga bahkan tidak menoleh saat Alodie datang, Alodie jadi merasa tidak enak hati.

Beberapa saat telah berlalu, percakapan belum juga keluar sedikit pun, keduanya terdiam dengan pikiran Alodie yang kurang mengenakan, memikirkan Arga marah, tentu saja. Cewek itu jadi lebih perasa kepada Arga di bandingkan dulu.

“Lo nggak mau tanya gue habis ngapain, Ga?” Kalimat itu yang pertama kali keluar dari mulut Alodie, kegiatan mengempel lantainya tidak ia hentikan sama sekali.

“Kalau lo mau cerita, gue bakal denger,” jawab Arga tanpa menoleh.

Alodie mengerucutkan bibir, jawaban Arga, kok, gitu, sih.

“Maksud gue takutnya emang privasi,” lanjut Arga, seolah mengerti isi hati Alodie.

Alodie menghentikan aktivitasnya, ia menghadap kepada Arga yang masih terus melakukan kegiatan mengepel lantai. “Benar kata lo, Keenan suka sama gue.”

Kepalan tangan Arga pada gagang pel mengerat sedikit.

“Dan benar kata lo, selama ini, secara nggak sadar gue udah numbuhin harapan di diri Keenan.”

Arga masih tak memberikan jawaban.

“Dulu, tiga orang di masa lalu gue, mereka juga ngelakuin hal yang sama.”

Kali ini Arga berhenti, ia menoleh kepada Alodie.

“Itu pertama kali gue jatuh cinta. Awalnya mereka ngedeketin gue, tapi yang berhasil bikin gue jatuh cinta adalah Naufal. Setelah gue jatuh cinta, Naufal mempertemukan gue sama dua orang lainnya, yang gue nggak tahu ternyata dua orang lainnya yang ngedeketin gue itu temen Naufal. Dan, ya, ternyata gue dijadiin bahan taruhan buat muasin kesenangan mereka.”

“Ternyata gue yang berhasil bikin dia jatuh cinta,” Naufal berkata dengan bangga, “gelar penakluk wanita masih dipegang gue.”

“Cih, itu kebetulan aja, nggak usah sok keren,” sahut Lukas, “gue bisa dapatin cewek yang lebih cantik dari dia.” Lukas menggoyangkan dagu ke arah Alodie.

“Hahaha, gue traktirin, deh, lo berdua, sesuai janji gue, gue bakal traktir lo berdua makan sepuasnya, siapa pun yang menang.” Itu Dika, iya, Dika yang sekarang menjadi Kakaknya Arga.

“Gue hancur banget denger percakapan mereka, Ga, harga diri gue bener-bener dipermainin. Dan sejak saat itu, gue mutusin buat menganggap semua cowok itu sama, biar gue nggak gampang jatuh cinta sama cowok, itu satu-satunya cara gue buat ngelindungin diri gue dari sakit hati. Dan sekarang, gue kasih Keenan harapan, apa bedanya gue sama mereka kalau tiba-tiba pergi gitu aja?”

Percakapan berhenti, keduanya saling menatap dengan pikiran masing-masing. Sampai beberapa saat berlalu, tawa hambar Arga muncul. “Jadi lo mau bertanggung jawab atas harapan Keenan?”

Apa kabar sama harapan gue, Die? Lo nahan gue pergi kemarin, lanjut Arga, tetapi hanya bisa ia sampaikan lewat hatinya.

Alodie tidak menjawab, ia tidak tahu harus mengatakan apa.

Arga yang merasa tidak mendapatkan jawaban pun kini bergerak dan lebih memilih melanjutkan aktivitas mengepel lantainya, ia hanya tinggal menyelesaikannya lalu mengantarkan Alodie pulang.

HATI untuk ARGAWhere stories live. Discover now