DUA PULUH SATU

123 18 34
                                    

“Ini buat Dika, dan ini buat Arga.” Tangan Diana sibuk memilah baju sejak tadi. Nanti malam, pernikahannya dengan Dani akan digelar di rumah Arga. Acara ini hanya akan dihadiri oleh keluarga, teman dekat Diana dan Dani, rekan kerja, dan dua sahabat Arga. Tidak banyak yang diundang, karena pengesahan hubungan kedua mempelai yang terpenting.

Mereka menerimanya. Dika langsung menempelkan jas atasannya ke badan, hanya mengetes dari luar apakah jas tersebut cocok untuknya atau tidak. “Bagus! Anak ganteng pakai apapun juga bagus.”

Diana terkekeh mendengarnya.

“Sebentar lagi, kita resmi jadi adek-kakak, loh, Ga,” celetuk Dika seraya menggantung jasnya di gantungan baju, “bokap gue bakal jadi bokap lo, dan bunda lo bakal jadi bunda gue.”

Arga tak menyahut, apapun topik yang Dika bawa, Arga selalu tidak tertarik.

“Lihat aja, bunda lo nanti bakal lebih sayang sama gue, hahaha.”

Arga yang saat itu tengah menggantung bajunya juga sontak terhenti untuk beberapa saat. Pandangannya beralih kepada Diana saat wanita itu terkekeh karena candaan Dika, mereka tertawa bersama. Selang beberapa detik, Arga akhirnya bangkit sambil membawa jasnya. “Arga ke kamar duluan, ya, Bun, pengen istirahat dulu.”

Tawa Diana terhenti perlahan dan mendongakkan wajah, ia tersenyum kepada Arga. “Iya, anak ganteng,” katanya lalu menoleh kepada Dika, “kamu juga istirahat, gih.”

“Siap, Bun!” Dika menegakkan tubuhnya sambil melakukan hormat.

“Bunda juga istirahat,” suruh Arga.

“Iya, sebentar lagi Bunda ke kamar.”

***

Sejak tadi, sepasang mata begitu fokus memerhatikan seorang anak perempuan kecil yang tengah memainkan mainan pasirnya, Kinara. Ia adalah putri dari Eza, kakak laki-laki pertama Alodie dengan Gea. Alodie mengembuskan napas berat lalu melirik ke arah Ibunya yang tengah menjahit kancing kemeja di sebelah kiri. “Menurut aku, kak Gea nggak usah kerja, deh, Bu, kasian Kinara, masih kecil, lagian kerjaan bang Eza juga cukup.”

“Ibu udah kasih masukan juga, tapi keputusan tetap ada sama kakak kamu,” jawab Mira tanpa mengalihkan perhatiannya dari jarum, “nggak apa-apa … Kinara, kan, jadi bisa tinggal sama kita.”

“Ya, iya … aku, sih, seneng ada Kinara, cuma kasihan.”

Jahitan kancing kemeja itu selesai, Mira mengalihkan perhatiannya kepada Alodie. “Ibu nggak mau terlalu ikut campur sama rumah tangga abang kamu, mereka udah pada gede, harusnya udah bisa mengelola rumah tangga sendiri. Lagian, mending kalau merekanya terima Ibu ikut campur, kalau enggak? Kan, malah jadi bikin berantem. Yang penting Ibu udah kasih masukan.”

“Iya, juga. Banyak, tahu, kasus perceraian akibat mertuanya ikut campur.”

Mira terkekeh kecil. “Ternyata anak bungsu Ibu udah dewasa.”

Alodie yang saat itu masih memerhatikan Kinara sontak menoleh. “Ih, nggak! Aku nggak mau jadi orang dewasa! Pusing!”

“Tante Odie!”

Teriakan perempuan kecil itu membuat Alodie dan Mira menoleh, Kinara sedang berlari ke arahnya dengan langkah kaki yang lucu. Setibanya di depan Alodie, ia menggelayut manja di kaki Alodie. “Tante Odie, om Aga ke sini.”

Alodie sontak membulatkan mata. “Hah? Ngapain Arga ke sini?”

Mira tertawa. “Ara minta kamu manggil Arga, Die, bukan ngasih tahu.”

Mata Alodie semakin besar lagi. “Hih, ngapain?”

“Om Aga janji mau kasih Ara gambar ikan.”

“Ya, gusti, Ara … mau aja disogok gambar ikan.”

HATI untuk ARGAWhere stories live. Discover now