ENAM PULUH DUA

92 19 24
                                    

Ada kata kasar, jangan ditiru.

Happy Reading.

***

Déjà vu, seperti kejadian sebelumnya yang pergi mendadak dari kampus, sore itu Dika berlari terpontang-panting. Dengan kejadian yang sama, Dani baru saja mengabarkan kondisi Arga yang lagi-lagi drop. Sudah beberapa kali kondisi adiknya itu melemah akhir-akhir ini, dan Dika masih belum percaya karena tadi pagi ia baru saja menemuinya dalam keadaan baik-baik saja. Dika bahkan masih ingat senyum yang Arga patrikan di wajahnya saat ia mengatakan sesuatu yang berarti untuknya.

“Ulang tahun lo seminggu lagi, kan, Ka?” tanya Arga dengan suara lemahnya saat itu.

What a surprise! Lo tahu ulang tahun gue, Ga?” kaget Dika. Reaksinya benar-benar heboh.

Arga tersenyum kecil. “Gue tahu semua tentang lo, kok, Ka.”

Tidak heran, Arga bahkan tahu semua jadwal perkuliahan Dika, sesuatu yang Dika tidak mengerti sampai saat ini. Arga memusuhinya, tetapi juga memerhatikannya.

“Gue punya hadiah buat lo.”

Kejutan yang kedua, Dika lagi-lagi bereaksi heboh, bahkan lebih. “Serius?” tanyanya antusias, “mana?”

“Masih seminggu lagi, kan?”

“Sekarang aja.”

Arga menggeleng. “Namanya juga hadiah ulang tahun, ya, di kasihnya pas hari H-nya, lah.”

Dika tersenyum lebar. “Oke, deh, gue tunggu.”

“Semoga suka.”

“Pasti suka, lah!” sergah Dika, “niat lo mau kasih gue hadiah aja itu udah bikin gue suka banget, Ga.”

Itu percakapannya tadi pagi, dan sekarang Dani mengabarinya kalau kondisi Arga kembali melemah. Dika linglung, pikirannya berlari ke sana-ke mari. Sampai akhirnya, ia tiba di depan ruang ICU, menemukan Diana tengah menangis histeris di pelukan Dani. Cowok itu berhenti, ranselnya yang ia gantungkan di sebelah pundak jatuh seketika. Tubuhnya melemas.

Ia bisa melihat hancurnya Diana, ia bahkan lihat raut keterpurukan Dani yang biasanya selalu berusaha untuk tenang. Dika melangkah pelan, semakin mendekat ke arah Dani dan Diana, lalu mendarat di pelukan Dani. Tidak ingin banyak bicara, tidak ingin banyak bertanya, Dika hanya ingin menangis untuk menyingkirkan semua yang terasa berat di dadanya. Dika takut.

Sementara itu, di tempat lain, tepatnya di SMA Gunadarma, Alodie berlari dengan tergesa menuju kelas 12 IPA 1. Tidak bisa disembunyikan, rautnya panik, begitu panik. Sampai akhirnya ia bertemu dengan Jean, Rio, juga Salsa yang sama-sama menampakkan kecemasannya. Tidak banyak bertanya, Alodie tahu mereka juga sudah mendapatkan kabarnya.

Tanpa suara sedikit pun, mereka akhirnya pergi ke rumah sakit dengan pikiran masing-masing. Bukan dengan kendaraan masing-masing, mereka memilih taksi untuk menjangkau rumah sakit. Meski, ada sedikit perdebatan karena Jean dan Rio sempat keras kepala ingin menggunakan motornya.

“Bahaya! Lo berdua pasti kesetanan!” Hingga Salsa harus menyentaknya seperti itu, akhirnya mereka mau menggunakan taksi.

Di dalam sana, Jean tak henti menggenggam ponsel. Dengan tangannya yang bergetar dingin, ia terus mencoba menghubungi Nabil, satu-satunya orang yang—mungkin—akan menyelamatkan Arga. Namun, sudah panggilan ke enam, tidak ada jawaban di seberang sana. “Lo ke mana, sih, anjing?!” umpatnya.

Salsa dan Alodie saling pandang, sama-sama bingung dengan maksud Jean. Siapa yang ia cari sebenarnya.

“Lo belum dapat keputusannya, Je?” Pertanyaan itu milik Rio yang duduk di samping supir.

HATI untuk ARGAWhere stories live. Discover now