TIGA PULUH DUA

131 22 32
                                    

Tepat pada pukul tujuh malam, Dika kembali dari “kerja kelompoknya”. Ia sengaja pulang malam karena tidak tahu Alodie akan sampai kapan di rumahnya.

Cowok itu buru-buru pergi ke kamar, menyimpan tas, lalu menghampiri Arga di kamarnya. Yang ia ingin tahu sekarang adalah reaksi Arga, apakah Alodie melihat barang bukti di rumahnya tentang Dika atau tidak, dan untuk membuktikannya kita lihat Arga bagaimana.

Kini Dika mengetuk pintu kamar Arga tiga kali, detik berikutnya ia membuka pintu itu begitu saja. Kepalanya menyembul di perhimpitan pintu yang ia buka sedikit, mendapati Arga yang tengah duduk di meja belajarnya itu menatap ke arahnya. “Ngapain?” tanya Arga.

Dika menjatuhkan pundak lega. Aman kayaknya, batinnya. Cowok itu langsung masuk sambil nyengir, ia lalu menjatuhkan punggung di kasur. “Gue tidur sini, ya,” katanya.

“Nggak, punya kamar sendiri ngapain tidur di kamar orang,” jawab Arga seraya kembali fokus kepada pen tablet dan komputernya, nada suaranya sudah tidak ketus seperti biasanya.

“Sekali-kali, lah, Ga, gue lagi pengen ditemenin.”

“Itu terus alasannya.”

Dika nyengir lagi. Cowok itu sekarang terdiam tidak memberikan jawaban, matanya menatap atap kamar, kedua tangannya terlipat di atas perut. Sampai kapan, ya, gue sembunyi dari Alodie?

“Gimana?” Pertanyaan Arga yang tiba-tiba itu membuat Dika menoleh, “cewek itu,” lanjutnya.

“Cewek mana?”

“Yang lo sakitin.”

Dika tidak menyahut.

“Udah minta maaf?”

Cengiran Dika muncul, ekspresi biasa saat ia menyembunyikan sesuatu. Cowok itu kembali menatap atap kamar lalu menyahut, “Belum.”

“Kenapa?”

“Gue masih belum berani. Lagi pula, kalau dia nggak mau gue ajak ketemu buat ngomong gimana?”

“Langsung jelasin lewat pesan kalau gitu.”

Dika menoleh lagi kepada Arga. “Nggak apa-apa minta maaf lewat pesan?”

“Kalau emang orangnya nggak mau ditemuin, ya, gimana lagi? Yang penting permintaan maaf lo sampai dulu ke dia.”

“Bener juga, sih,” Dika mengambil ponselnya di dalam saku celana, “gue chat sekarang aja kali, ya.”

Dika langsung mengetikkan pesan itu untuk Alodie, dengan permulaan perkenalan diri karena Alodie pasti tidak mengetahui nomornya. Sementara, Dika bisa tahu karena ia mendapatkan nomor Alodie dari Naufal. Setelah itu, Dika akan mengajak Alodie untuk bertemu, dengan alasan untuk meminta maaf ia sebutkan langsung dalam satu gelembung pesannya, karena jika dikirim satu-satu, Dika takut Alodie justru lebih dulu memblokir nomornya sebelum Dika menyampaikan maksud dan tujuannya.

“Udah,” kata Dika, ia menyimpan ponselnya di atas perut sambil menunggu balasan.

Sudah beberapa menit, tidak ada nada notifikasi pesan masuk yang berbunyi di ponselnya. Dika yang penasaran akhirnya memilih memeriksanya, ternyata pesannya sudah menampilkan ceklis dua berwarna biru, tanda bahwa pesannya sudah Alodie baca. Dika membulatkan mata terkejut, ia juga jadi deg-degan karena takut dengan balasan Alodie. Namun, tulisan typing pada kontak Alodie tidak juga muncul.

Dika akhirnya membuka roomchatnya, ternyata tulisan online pun tidak tampak di bawah nama Alodie, yang berarti Alodie memang hanya membacanya. Dika menjatuhkan pundak lemas, ia mencoba mengiriminya satu pesan lagi, tetapi justru ceklisnya menjadi satu.

HATI untuk ARGAWhere stories live. Discover now