Bab 8 Pertemuan

75 7 1
                                    



"Mau ke mana kamu?" tanya Abimanyu yang tiba-tiba muncul dari belakang Adisti. Wanita itu terkejut setengah mati saat akan menyalakan motornya.

"Ngagetin aja sih," protes Adisti sambil mencubit lengan kekar Abimanyu.

"Jawab dulu. Kamu mau ke mana?" tanya Abimanyu ketus.

Adisti diam. Mana mungkin ia jujur pada Abimanyu bahwa akan menemui laki-laki yang dijodohkan kakeknya. Lagi pula, Abimanyu mengingkari janjinya malam kemarin.

"Aku jalan sama temen. Kamu ke mana kemarin? Kenapa tidak datang?" tuntut Adisti mencoba mengalihkan pembicaraan.

"A-aku ... keluarga kami sedang ada sedikit masalah. Jadi pernikahan kita ditunda sementara waktu." Abimanyu tampak salah tingkah. Ia tidak bisa menceritakan kenyataannya bahwa Arka datang dan mengganggu moodnya kemarin.

Adisti mengernyit. "Masalah? Karena masalah itu kita tidak jadi menikah?" protes Adisti kesal. Ia sudah membayangkan akan hidup bahagia bersama Abimanyu.

Adisti tidak mengerti, seolah ada sesuatu yang mencubit di dalam sana saat mengucapkan kalimat itu. Tidak jadi menikah? Bahkan dirinya saja sudah membayangkan semuanya bersama Abimanyu. Sedangkan pertemuan ini, hanya agar sang kakek tidak curiga dan kecewa.

"Bukan tidak jadi menikah. Hanya ditunda, Sayang." Abimanyu tampak panik saat melihat Adisti menampakkan wajah tidak enak.


"Lalu kapan?" tanya Adisti pelan.

"Secepatnya, Sayang. Jika semua sudah siap, aku akan menjemputmu, lalu kita ..."

Tiba-tiba Abimanyu menghilang sebelum menyelesaikan ucapannya. Rupanya ada Kartilan yang mendekati mereka. Sehingga Abimanyu segera pergi.

"Belum berangkat?" tanya Kartilan curiga. Sesaat tadi ia melihat Adisti tampak sedang mengobrol dengan seseorang, tetapi Kartilan tidak melihat lawan bicara cucunya itu. Karena itulah ia menghampiri Adisti.

"Ini mau berangkat, Mbah." Adisti terlihat gugup. Ia takut kakeknya memergokinya berbicara dengan Abimanyu.

"Ya sudah, berangkat saja sekarang sana." Kartilan menepuk pundak Adisti, lalu melambaikan tangan saat gadis itu sudah menyalakan motor.

Kartilan menatap rumah Adisti. Matanya menyipit, lalu mengernyit saat tidak sengaja hidungnya mencium bau harum seperti bunga melati.

''Dari mana asal bau ini?" gumam Kartilan heran. Bau harum seperti melati biasanya pertanda ada makhluk tidak kasatmata di sekitar manusia, jika Kartilan sekarang bisa menciumnya bau wangi, itu artinya di sekitar rumah Adisti ada makhluk tak kasatmata. Sayangnya, Kartilan tidak memiliki Indra keenam, ia tidak bisa melihat 'mereka' dengan mata telanjang maupun batin.

Laki-laki tua itu menghela napas. Ia berdoa semoga bukan makhluk berbahaya yang berniat menggoda cucunya.

Sementara itu, Adisti telah sampai di Kafe Garden. Setelah memarkir motor, gadis itu masuk dan menanyakan pada kasir di mana meja pesanan atas nama Alex.

Setelah mendapatkan nomor meja, Adisti berlalu mencari sendiri di mana Alex berada.


Kafe Garden didesain dengan konsep outdoor, indoor, dan privat. Sepertinya pemilik kafe ini sengaja mendesain kafe agar cocok untuk semua kalangan. Jika ingin menikmati pemandangan alam, bisa memesan meja di ruang outdoor, untuk pertemuan penting bersifat pribadi bisa memesan ruang privat, sedangkan indoor sepertinya sengaja di desain untuk pengunjung yang membawa anak kecil karena di dalam ada time zone mini yang berada di pojok ruangan.

Adisti mengucek mata, memastikan penglihatannya tidak salah. Ia menatap nomor meja dan laki-laki yang menunggunya bergantian. Mungkinkah ia salah melihat?


Dion! Bos di pabrik tempatnya bekerja sedang duduk di meja yang seharusnya di pesan Alex.

"Anda ...." Ucapan Adisti terputus saat Dion meletakkan jari telunjuknya di depan bibir. Laki-laki itu memberi kode agar Adisti segera duduk di depannya.

"Kaget?" tanya Dion memiringkan bibirnya.

"Kenapa Bapak yang ada di sini?" tanya Adisti bingung.

"Memangnya tidak boleh?" tanya Dion sambil menaikkan alisnya.

"Ah, bukan begitu, Pak. Tapi, bukankah meja ini di pesan atas nama Alex?" tanya Adisti kebingungan.

"Benar. Meja ini atas nama Alex. Dion Alexander."

Seketika Adisti membelalak, ia terkejut setengah mati. Jadi laki-laki yang dijodohkan dengannya adalah bosnya sendiri?

"Jadi, Anda yang dijodohkan dengan saya?" Adisti terlihat bodoh dengan wajahnya yang masih tidak percaya. Gadis itu menganga, lalu mencubit pipinya.

Dion tersenyum samar saat melihat Adisti meringis terkena cubitannya sendiri. "Bukan mimpi," seru Dion.

"Ta-tapi, bagaimana bisa?"

"Tentu saja bisa. Orangtuaku berteman akrab dengan kakekmu."

Adisti menutup mulut menggunakan kedua tangan. Fakta baru yang membuat dirinya kembali terkejut. "Teman?"

Dion mengangguk. "Walaupun tidak seumuran, orangtuaku berteman akrab dengan kakekmu karena kami pernah ditolong Beliau."

Adisti terdiam. Hatinya tidak bisa menerima Dion begitu saja. Entah mengapa tiba-tiba bayang Abimanyu memenuhi kepalanya.

"Kamu mau pesan apa? Sepertinya kejutan ini membuatmu benar-benar terkejut," sindir Dion sembari mengulurkan buku menu.

Adisti hanya menatap buku menu tanpa berminat menyentuhnya. Jadi, maksud ucapan Dion siang tadi pertemuan ini? Jadi benar Dion-lah laki-laki yang akan dijodohkan dengannya?

Tiba-tiba saja Adisti merasa pasokan oksigen di sekitarnya menghilang begitu saja. Begitu banyak kejutan dalam satu waktu membuat dirinya tidak siap.

Abimanyu menjanjikan pernikahan, bahkan sudah mengikatnya dengan sebuah cincin. Sekarang justru sang kakek mengenalkan dirinya pada laki-laki yang sebelumnya sangat ia hindari karena kecuekannya.

Dion melambaikan tangan kanannya di depan wajah Adisti yang memucat. "Kamu baik-baik saja?" tanyanya sedikit khawatir.

"A-aku baik," jawab Adisti terbata-bata.

"Mau pesan apa? Kita makan dulu, setelah selesai, barulah kita membicarakan tahap selanjutnya perjodohan ini." Dion memanggil pramuniaga dengan kode tangan. Ia memesan nasi goreng seafood dan segelas jus mangga. Karena Adisti tidak segera bersuara, Dion berinisiatif menyamakan pesanan mereka.

Dion mengamati Adisti dengan saksama. Mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada gadis itu. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Entah apa.

Beberapa menit kemudian, mereka sudah selesai makan. Adisti hanya memakan separuh nasi gorengnya, sepertinya gadis itu tidak bersemangat sama sekali dengan pertemuan itu.

Meja mereka sudah bersih. Piring bekas makan sudah dibawa pramuniaga ke dapur. Tersisa minuman mereka yang masih separuh.

"Kamu tidak menyetujui perjodohan ini?" tanya Dion membuka suara.

Adisti mendongak. "Entahlah, Pak. Jika bisa menolak, aku akan menolak."

"Jika aku tidak mau?" tantang Dion. Laki-laki sebenarnya belum memiliki perasaan apa pun pada Adisti, ia menyetujui perjodohan ini demi ibunya yang tengah sakit.

"Aku belum memiliki rasa."

"Sama!" jawab Dion cepat, "tapi aku tidak menolak perjodohan ini."

"Mengapa begitu? Jika tidak memiliki rasa, seharusnya tidak perlu dilanjutkan." Adisti menatap Dion tidak suka. Akibat mantra yang Abimanyu tujukan pada Adisti, membuat gadis itu hanya memikirkan Abimanyu seorang. Mata dan hatinya tertutup dari laki-laki lain.

"Tidak bisa. Mamaku sakit, beliau sangat mengharap perjodohan ini berhasil."

Deg!

Jantung Adisti seolah berhenti detik itu juga. Itu artinya, mau tidak mau perjodohan ini akan tetap berlanjut. Lalu bagaimana hubungannya dengan Abimanyu? Sial! Adisti mengumpat dalam hati.

Gadis itu menyayangi sang kakek, sehingga tidak bisa menolak permintaannya. Tetapi, menerima Dion menjadi suaminya tentu saja ia tidak bisa. Ada Abimanyu yang sudah bertahta di hatinya.

"Tapi ... aku benar-benar tidak bisa!" tegas Adisti.

"Kamu sudah tidak sayang kakekmu?" tanya Dion sengaja memancing reaksi Adisti.

"Tentu saja aku sayang. Namun, menerimamu aku tidak bisa, Pak. Mengertilah! Sekarang aku seperti memakan buah simalakama."

Dion mengernyit mendengar ucapan Adisti. Sebenarnya apa yang terjadi pada Adisti? Batin Dion bertanya-tanya.



PERNIKAHAN DUA ALAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang