Bab 14 Tekat Dion

71 4 1
                                    

"Menikah dengan makhluk tak kasatmata, Ustaz?" tanya Dion. Ia pernah mendengar ada manusia yang menikah dengan makhluk tak kasatmata, tapi baru kali ini ia tahu secara langsung, bahkan itu adalah Adisti, calon istrinya.

Ustaz Ramli mengangguk. "Mereka belum lama menikah."

Sekali lagi Dion membelalak. Belum lama? Apakah menikah setelah bertemu dengannya atau sebelum? Bagaimana bisa Adisti yang terlihat polos mau menikah dengan makhluk tak kasatmata?

"Sepertinya gadis itu tidak sadar bahwa dirinya dipengaruhi mantra mereka agar mau patuh."

Ucapan Ustaz Ramli seperti menjawab pertanyaan yang ada di otak Dion. Tentu saja dimantrai, mana mungkin orang mau menikah dengan makhluk tak kasatmata jika bukan karena ada sesuatunya.

"Mengapa mereka melakukan itu? Maksud saya, mengapa bangsa mereka memilih Adisti?" tanya Dion.

Ustaz Ramli memejamkan mata sebentar. Tak lama Kemudian membuka mata. "Mereka menginginkan manusia yang pernah mati suri untuk menguasai wilayah mereka. Dan sekarang keinginan mereka terkabul."

"Apakah bisa disembuhkan?" tanya Dion.


Ustaz Ramli mengangguk. "Bisa."

Seketika Dion bersemangat. "Bagaimana caranya Ustaz?"

"Harus memutus tali perjanjian mereka."

"Memutus tali perjanjian?" tanya Dion heran.


Hal berbau mistis atau spiritual ia tidak terlalu paham betul. Karena itulah ia membawa Adisti ke rumah Ustaz Ramli. Salah seorang Ustaz yang juga bisa menyembuhkan orang dari santet, teluh, guna-guna, dan sebagainya. Sudah banyak pasien dari berbagai daerah datang untuk berobat. Tidak hanya penyakit akibat perbuatan manusia, penyakit seperti stroke dan penyakit dalam bisa disembuhkan oleh Ustaz Ramli.

Ustaz Ramli mengangguk. Ia mengubah posisi duduknya agar lebih nyaman.

"Iya. Jika suatu saat wanita itu menikah, suaminya bisa saja meninggal atau minimal sakit-sakitan yang susah sembuh. Jalan satu-satunya adalah memutus perjanjian mereka."

"Saya tidak tahu, Ustaz. Hanya saja, saya meminta tolong sembuhkan dia agar terbebas dari makhluk itu."

Ustaz Ramli mengangguk. "InsyaAllah, atas izin Allah akan saya bantu semampu saya."

Tak lama kemudian, Adisti terbangun. Ia menatap sekeliling lalu mengernyit. "Siapa kalian?" tanyanya pada Aldi dan kawannya.


Mendengar suara Adisti, Dion dan Ustaz Ramli beranjak mendekat.

"Kamu tidak apa?" tanya Dion khawatir.

Adisti yang sudah duduk hanya mengangguk. Ia menatap semuanya bergantian, terakhir ia menatap Dion dan berlama-lama di sana untuk menuntut jawaban.

"Kamu akan disembuhkan oleh beliau, Ustaz Ramli."

Adisti mengernyit. "Aku sakit apa? Aku sehat kok. Tempat apa ini? Kita pulang sekarang, Pak!"

Adisti beranjak dari duduk lalu berlalu begitu saja menuju mobil Dion yang terparkir. Dion menatap Adisti lalu Ustaz Ramli bergantian.

"Bawa pulang dulu tidak apa. Saya akan menyusun rencana terlebih dulu karena memutus tali perjanjian itu tidak mudah."

Dion mengangguk. "Lalu bagaimana Ustaz untuk sekarang?" tanyanya bimbang. Yang jelas Adisti belum sembuh sekarang.

"Biarkan saja dulu, Nak. Kita putus di waktu yang tepat. Tidak sembarang hari untuk memutus perjanjian itu."

Dion lagi-lagi hanya mengangguk lalu berpamitan pada Ustaz Ramli dan murid-muridnya. Ia mendekati mobil, lalu masuk. Wajah Adisti terlihat masam. Membuatnya merasa tidak enak karena mengajaknya ke rumah Ustaz Ramli tanpa persetujuan Adisti.

"Kenapa Pak Dion membawa saya ke sana?" tuntut Adisti setelah mobil berjalan. "Saya tidak sakit apa pun, jadi jangan seenaknya mengajak saya ke sana lagi."

"Oke!" jawab Dion singkat. Ia malas menanggapi Adisti jika membahas hal itu. Setidaknya sekarang ia sudah tahu alasan di balik sikap aneh wanita itu.

Menikah dengan makhluk tak kasatmata? Dion tidak bisa membayangkan. Apakah mereka bercinta seperti manusia? Apakah mereka akan memiliki anak? Apakah makhluk itu menyenangkan bagi Adisti? Banyak pertanyaan di benak Dion sekarang.

Keinginannya menyembuhkan Adisti semakin kuat. Apalagi mengingat wanita itu adalah calon istrinya, walaupun hanya di atas kertas. Perjanjian yang mereka sepakati tidak mungkin bisa dibatalkan sebegitu saja.

"Sekarang kita mau ke mana?" tanya Adisti beberapa saat kemudian.

"Kamu ingin ke mana?" tanya Dion balik. Ia memang belum memikirkan akan pergi ke mana karena awalnya tadi ia ke rumah Ustaz Ramli dan di sana sampai Adisti bisa sembuh. Ternyata tidak semudah itu.

Adisti tampak berpikir sejenak. "Ingin ke pantai, Pak. Boleh?" tanya Adisti ragu. Ia takut Dion menolak permintaannya. Sudah lama ia tidak pergi ke pantai setelah bekerja. Tidak ada waktu.

"Boleh!" jawab Dion singkat sambil terus fokus menatap jalanan. Saat mencapai perempatan, laki-laki itu membelokkan mobil ke arah pantai. Kebetulan perjalanan menuju pantai bisa ditempuh dalam waktu 1 jam saja.

Adisti merogoh ponsel dari dalam tas. Tidak ada notifikasi apa pun. Sepertinya Sesil pun tidak ingin mengganggunya. Apalagi Abimanyu, laki-laki itu mana mungkin memakai ponsel. Ia datang menemui Adisti hanya untuk menuntaskan hasrat saja.

Adisti menghela napas panjang. Lalu mengalihkan pandangan menatap jalanan yang tidak terlalu ramai, juga tidak sepi. Sesekali ada kendaraan yang melintas.

Dion hanya melirik Adisti sekilas. Ia tidak tahu apa yang dipikirkan wanita itu. Sepertinya mood Adisti sedang tidak bagus, pikir Dion.


Beberapa menit kemudian mereka sampai di Pantai Selam, salah satu pantai terdekat dari rumah Adisti. Pantai terlihat sepi karena bukan hari libur. Sepertinya mereka datang di saat yang tepat.

Adisti segera turun meninggalkan tasnya di dalam mobil. Ia berlari menuju bibir pantai dan memainkan air di sana setelah melepas high heelsnya.

Melihat tingkat Adisti, Dion hanya tersenyum. Ia senang melihat senyum yang terukir di bibir wanita itu. Sepertinya ia benar-benar menyukai Adisti.

"Kamu senang?" tanya Dion setelah sampai di samping Adisti. Ia turut melepas pantofel lalu bermain air laut bersama Adisti.

"Tentu saja, Pak. Sudah lama saya tidak pergi ke pantai." Adisti mengabaikan Dion. Ia tidak menatap laki-laki itu sama sekali. Ia fokus bermain air.

"Mulai sekarang jangan panggil bapak. Ingat, aku adalah calon suamimu, Adisti." Dion meraih jemari Adisti, memaksa wanita itu mendengar apa yang dikatakannya.

Seketika Adisti menghentikan aktivitasnya lalu menatap Dion. "Bukankah pernikahan kita hanya sebatas di atas kertas, Pak? Rasanya berlebihan jika sekarang saya harus memanggil selain bapak. Anda atasan saya."

"Kita tidak sedang bekerja. Kita di luar kantor. Lagi pula, kita harus bersandiwara mulai dari sekarang. Harus totalitas agar kakekmu dan ibu saya percaya bahwa kita saling mencintai," jelas Dion lalu melepas tangan Adisti karena yakin wanita itu tidak mungkin menghindar.

"Tapi ... saya belum terbiasa."

"Biasakan dari sekarang makanya. Biar mereka percaya kita benar-benar mencintai."

"Tidak sekarang 'kan, Pak?" protes Adisti kesal.

"Harus sekarang."

Adisti memutar bola matanya dengan malas. "Memaksa sekali sih!"

"Ingat, sandiwara kita harus totalitas."

"Iya iya." Adisti memonyongkan bibirnya kesal. Ia tak menyangka Dion sangat pemaksa.

Dion meraih jemari Adisti, membimbingnya menyusuri bibir pantai sampai ujung. Mereka benar-benar menikmati waktu kebersamaan saat ini. Adisti seolah melupakan Abimanyu sejenak, pun dengan Dion yang melupakan status mereka yang masih calon.

Mereka bermain air dan kejar-kejaran seperti anak kecil. Hari itu, mereka puas bermain di pantai hingga tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 1 siang.

"Kita sholat dulu." Dion menggandeng Adisti menuju tempat di mana mereka melepas alas kaki. Beruntung masih ada. Kadang jika sedang ramai, barang yang tertinggal dan tidak ada yang menjaga akan hilang begitu saja.

"Sholat?" Adisti mengernyit. Entah kapan terakhir kali dirinya sholat, ia lupa.

Dion mengangguk. "Serepot apa pun kita, kalau bisa jangan melupakan sholat. Setelah sholat kita baru makan siang."

Adisti ingin protes, tetapi tidak bisa karena Dion sudah menggandeng tangannya untuk ikut. Dion membawanya ke mushola kecil yang sengaja dibangun sebagai fasilitas di pantai.


Setelah mengambil wudu, Dion menghampiri Adisti yang masih berada di depan mushola.

"Kamu tidak sholat?" tanya Dion lirih.

Adisti tidak menjawab. Ia hanya menggeleng sebagai jawaban. Lantas ia berlalu dan duduk di bawah pohon kelapa yang berada tidak jauh dari mushola.

Melihat itu, Dion hanya menghela napas. Ia sadar, menyembuhkan Adisti butuh kesabaran dan waktu yang tidak sebentar. Setelah memastikan Adisti duduk dengan nyaman, ia berlalu masuk dan melaksanakan sholat dhuhur.

Adisti merenung. Memikirkan Dion hari ini yang sangat jauh berbeda. Tidak sama seperti saat di kantor yang terlihat galak. Laki-laki itu justru sangat lembut saat bersamanya. Bahkan Dion hanya berani menggenggam tangan, tidak lebih. Berbeda dengan Abimanyu yang langsung menyambar bibirnya saat pertama bertemu.

Mengingat Abimanyu, Adisti kembali teringat perlakukan kasar laki-laki itu semalam. Mungkin memang salahnya telah berbohong, apalagi menyangkut masa depannya juga. Mungkinkah ia harus jujur pada Abimanyu jika kakeknya menjodohkannya dengan Dion? Adisti mana mungkin bisa mengelabui Abimanyu terus menerus. Ya, malam nanti Adisti bertekad akan mengatakan semuanya pada Abimanyu apa pun yang terjadi.

"Ayo pergi!" tepukan Dion di pundak Adisti membuyarkan lamunannya.

Wanita itu sempat terkejut, tetapi segera menguasai keadaan. Ia mengangguk lalu berjalan di samping Dion menuju mobil.


---

"Aku ingin mengatakan sesuatu, Sayang." Adisti memilin selimut yang menutupi tubuh polosnya. Baru saja mereka mengarungi nikmatnya dunia yang sementara dan semu.

"Apa?" tanya Abimanyu mengernyit.

"Bagaimana menurutmu jika aku dijodohkan oleh kakek?" tanya Adisti hati-hati.

Seketika wajah Abimanyu memerah. "Tidak boleh! Selamanya kamu hanya milikku dan tidak akan ada laki-laki yang boleh menyentuhmu selain aku!"


PERNIKAHAN DUA ALAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang