Bab 15 Pernikahan Dion dan Adisti

77 3 1
                                    

“Lantas bagaimana aku menolaknya?” tanya Adisti mengiba.

“Pikirkan sendiri! Jika kamu menikah, lantas bagaimana aku? Aku suamimu, Adisti! Suamimu!” teriak Abimanyu penuh penekanan di setiap ucapannya. Sepertinya ia benar-benar marah kali ini.

Tentu saja marah. Mana ada laki-laki yang rela berbagi istri? Tidak ada! Ia pun mana mungkin mau berbagi suami dengan wanita lain.

“Katakan! Bagaimana cara aku menggagalkan perjodohan itu?” Wajah Adisti tampak memelas. Ia lelah berdebat dengan Abimanyu yang tidak mau mengalah.

Abimanyu diam sejenak. Mana mungkin perjodohan antar manusia itu bisa ia batalkan. Abimanyu hanya bisa mengikat Adisti, tidak dengan rencana manusia yang lain, yaitu rencana Kartilan.

“Jika kamu ada cara menggagalkan perjodohan itu, akan aku lakukan.” Adisti pasrah dengan apa yang dikatakan Abimanyu nanti.

“Aku tidak tahu!” ucap Abimanyu akhirnya.

“Aku dan laki-laki itu sepakat untuk melakukan pernikahan di atas kertas. Kami menerima perjodohan itu, tetapi hanya sandiwara. Bagaimana? Tidak apa?” tanya Adisti takut-takut.

Abimanyu terdiam sejenak. Tentu ia paham maksud Adisti tentang pernikahan di atas kertas. Namun, bukan itu yang Abimanyu takutkan. Ia takut Adisti akan benar-benar menyukai laki-laki itu. Tentu saja karena ia hanya makhluk tak terlihat di mata orang lain. Ia tidak bisa melakukan apa pun pada Adisti selain bercinta dengannya.

“Bagaimana?” tanya Adisti sekali lagi.

“Entahlah! Aku takut kamu akan mencintai laki-laki itu, Sayang,” ujar Abimanyu lembut. Ia merasa percuma marah karena tidak akan menyelesaikan masalah.

“Tidak akan! Hanya kamu yang ada di hatiku, Sayang. Aku janji, hanya kamu!” janji Adisti sambil menggenggam erat jemari Abimanyu yang kekar.

Abimanyu menatap Adisti, tanpa aba-aba ia mencium bibir merah Adisti dengan liar. Nafsunya selalu menggelora saat bersama Adisti, seolah tidak ada bosannya. Berbeda dengan Adisti yang memiliki rasa lelah. Sebentar saja ia sudah merasa sangat lelah melayani Abimanyu.

Namun, Adisti bersyukur karena Abimanyu mengizinkannya melakukan pernikahan di atas kertas dengan Dion. Wanita itu yakin, dirinya akan bisa setia pada Abimanyu seorang.

Setelah mencapai pelepasan, Abimanyu memeluk Adisti hingga wanita itu tertidur. Barulah ia akan pergi, kembali ke rumahnya untuk menjalani pernikahan lain dengan bangsanya sendiri.

Keesokan hari, Adisti menggeram kesal saat melihat Abimanyu tidak lagi terlihat di atas ranjang. Lagi-lagi laki-laki itu meninggalkannya setelah tertidur. Adisti ingin satu kali saja Abimanyu bisa menemaninya sampai pagi. Sayangnya, itu adalah hal yang mustahil. Abimanyu bukan manusia. Hanya itu jawabannya.

Adisti menyiapkan diri sebelum berangkat bekerja. Namun, sebelum ia memakai make up, tiba-tiba ia teringat motornya yang masih ada di pabrik. Kemarin ia tidak masuk pabrik, otomatis kendaraan roda duanya itu masih di sana.

Wanita itu berdecak kesal. Mengingat gara-gara Dion ia harus repot memesan ojek pagi ini. Namun, sebelum ia memesan, sebuah pesan masuk dari Dion.

“Panjang umur ya kamu! Baru juga diomongin.”

[Aku sudah di jalan untuk menjemputmu. Segera bersiap.]

Adisti menganga membaca pesan Dion. Ia sampai mengucek mata berkali-kali. Benarkah ini pesan dari Dion? Tumben sekali bisa selembut itu.

Namun, Adisti tidak mau memikirkannya terlalu jauh. Yang penting ia bisa masuk bekerja tanpa repot keluar uang.

Mengingat uang, tiba-tiba ia teringat peti kecil pemberian Abimanyu semalam. Laki-laki itu mengatakan bahwa di dalam peti itu terdapat emas dengan berbagai macam bentuk. Entah kalung, cincin, gelang, dan berbentuk koin. Abimanyu mengatakan ia bebas menggunakan benda itu, dijual atau dipakai terserah.

Dengan semangat Adisti mengambil peti itu dari dalam lemari, lalu mengeluarkannya. Setelah dibuka, matanya membelalak melihat emas begitu banyak.

Tangannya meraih sebuah cincin yang menarik perhatiannya sejak pertama dibuka. Cincin mungil yang memiliki mutiara berwarna merah menyala.

Adisti menyematkan cincin itu di jari manisnya sebelah kiri. Begitu cincin terpasang sempurna, ia merasa sesuatu dengan cepat melesat masuk ke tubuhnya. Hingga membuat dirinya kehabisan napas dalam beberapa detik.

“Ada apa ini?” gumam Adisti heran.

Namun, perasaan itu tidak lama karena suara klakson membuyarkan lamunan Adisti. Dion sudah datang menjemputnya.

Setelah bersiap dengan cepat, Adisti keluar menemui Dion yang berada di dalam mobil.

“Lama sekali sih!” protes Dion setelah Adisti duduk dan memasang sabuk pengaman.

Menyesal rasanya tadi memuji Dion. Adisti menggerutu mendengar protes Dion. Salah sendiri datang terlalu pagi, batin Adisti kesal.

Tanpa menjawab protes Dion, Adisti hanya diam lalu memalingkan wajah dengan kesal.

“Pernikahan akan dipercepat karena kondisi Ibu menurun.”

Ucapan Dion sukses membuat Adisti menoleh seketika. “Hah? Dipercepat?” pekik Adisti tidak percaya.

Dion mengangguk. “Ibu sakit. Beliau ingin kita segera menikah dan aku menyetujuinya. Kita menikah sederhana di rumah kakekmu tiga hari lagi.”

Ucapan Dion yang semulus aspal Korea sukses membuat Adisti menganga. Menikah dengan Dion secepat itu tidak ada di dalam pikirannya. Baru semalam Abimanyu mengizinkannya menyetujui pernikahan itu, lantas sekarang Dion mengatakan pernikahan akan dipercepat. Gila! Sungguh gila!

“Bagaimana mungkin kamu memutuskan semuanya sendiri?” protes Adisti.

“Tentu saja aku berhak menentukan semuanya, Adisti. Lagi pula ini hanya pernikahan sandiwara.”

Adiati terdiam. Tentu saja ia tahu ini hanya perjanjian, tetapi waktu yang mendadak itulah membuat dirinya tidak terima. Apa lagi tidak ada diskusi dengannya terlebih dulu.

“Jika aku meminta pendapatmu, mungkin saja kamu akan menolak mentah-mentah,” lanjut Dion santai.

“Tapi ....” Adisti tidak meneruskan ucapannya karena benar kata Dion. Ia akan menolak jika laki-laki itu mendiskusikan hal itu dengannya.

“Sekarang kita membeli baju untuk menikah. Walaupun sederhana harus sakral.”

“Tapi ini hanya bohongan. Kenapa harus memikirkan sakral? Bukankah tidak masalah jika asal-asalan. Toh kita akan bercerai tak lama kemudian.”

“Diamlah, Adisti! Aku sudah mengatur semuanya.”

Adisti tidak lagi mengeluarkan suara. Ia sibuk dengan pikirannya sendiri yang tidak rela secepat itu menjadi istri Dion. Walaupun hanya di atas kertas.

Dion tersenyum samar melihat Adisti tidak berkutik. Ia sudah memikirkan matang-matang tentang pernikahannya dengan wanita itu. Walaupun ia mengatakan pernikahan di atas kertas, sebenarnya ia tidak menginginkan itu. Ia benar-benar mencintai Adisti dan berharap wanita itu bisa sembuh dan menjadi istri sepenuhnya.

---

Sepulang dari berbelanja gaun pengantin, Adisti dihadang Kartilan di depan rumahnya. Laki-laki tua itu tampak semringah saat mendengar Dion akan menikahi Adisti 3 hari lagi.

“Kamu beruntung, Nduk. Nak Dion adalah laki-laki yang baik untukmu. Semoga kalian menjadi pasangan yang sakinah nantinya.”

Tidak menjawab ucapan sang kakek, Adisti melewati kakeknya begitu saja. Ia malas menanggapi Kartilan. Adisti ingin sendiri karena sebentar lagi statusnya akan menjadi istri Dion. Padahal dirinya sudah menikah dengan Abimanyu. Statusnya benar-benar membuatnya semakin pusing.

Jika saja bisa menolak Dion, mungkin akan Adisti lakukan. Mengingat dirinya sangat mencintai Abimanyu.

“Halo, Sayang,” sapa Abimanyu yang tiba-tiba muncul dari belakang Adisti.

“Eh, kamu.” Adisti benar-benar terkejut melihat Abimanyu sudah berada di kamarnya.

“Wajahmu kenapa? Sepertinya sedang banyak pikiran.” Abimanyu merengkuh Adisti ke dalam pelukannya. Lalu mengecup pucuk kepala.

“Dion, laki-laki itu memajukan tanggal pernikahan.”

Seketika Abimanyu menggeram. “Kenapa? Apa alasannya dia mempercepat pernikahan?” tanyanya kesal.

“Ibunya sakit dan ingin melihat kami segera menikah.”

Ada cemburu saat Adisti mengatakan itu. Hati Abimanyu serasa dicubit kecil. Sakit. Wanita yang selama ini hanya dirinya yang menyentuh, sebentar lagi akan menjadi istri laki-laki lain, catat manusia.

Abimanyu benar-benar tidak suka pernikahan Adisti dipercepat, itu artinya pertemuannya dengan istrinya itu akan sangat terbatas.

“Aku cemburu, Sayang.”

Adisti tersenyum kecil. “Tenang saja. Kami sudah membuat perjanjian tidak akan bercinta selama pernikahan.”

Abimanyu menghela napas. Lega mendengar jawaban Adisti. Itu artinya hanya dirinya seorang yang bisa menikmati tubuh Adisti, walaupun hanya semu.

“Hapus rasa kecewaku, Sayang. Layani aku malam ini dengan liar,” bisik Abimanyu dengan suara serak menahan gejolak di bawah sana.

---

Tak terasa waktu pernikahan tiba. Dion dan Adisti sudah bersiap di depan penghulu yang sengaja didatangkan ke rumah Kartilan.

Acara penuh hikmat nan sederhana itu terasa sakral karena tidak banyak tamu yang diundang.

Gema ucapan sah terdengar nyaring dan menghadirkan kebahagiaan di hati semua orang, kecuali Adisti. Wanita itu terlihat semakin gelisah saat ucapan sah terdengar.

Sekarang ia sudah sah secara hukum menikah dengan Dion. Entah siapa laki-laki itu bisa mengurus administrasi ke KUA secepat itu. Belum hilang heran Adisti, ternyata Dion memberikan mahar yang lumayan banyak. Berbeda saat menikah dengan Abimanyu yang kental akan adat Hindu.

“Selamat ya, Nak. Ibu senang akhirnya kalian menikah sekarang.” Dini memeluk Adisti erat. Wanita itu tampak pucat walaupun tersenyum lebar.

“Iya, Bu.” Adisti membalas pelukan Dini erat. Ia merasa memiliki ibu kembali. Apalagi sifat Dini yang keibuan membuat Adisti betah berlama-lama mengobrol.

“Ibu berharap kalian bahagia selamanya.”

Adisti mengangguk ragu. Ia melirik Dion yang berdiri di sampingnya. Mana mungkin dirinya bahagia hidup bersama laki-laki yang tidak dicintainya. Apa lagi ia sudah memiliki suami yaitu Abimanyu.

PERNIKAHAN DUA ALAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang