Bab 12 Abimanyu marah?

80 7 1
                                    

“Selesaikan dia sekarang!” perintah Lastri pada Abimanyu. Saat ini mereka sedang berperang melawan keluarga Arka.

Abimanyu mengangguk lalu mendekati Arka yang ngos-ngosan karena perutnya terluka. Sebelumnya Lastri yang melawan Arka, tetapi wanita itu ingin Abimanyu yang menghabisi Arka. Setidaknya sampai Arka mengibarkan bendera putih.

“Matilah kamu!” Tiba-tiba dari telapak tangan Abimanyu muncul cahaya berwarna merah terang yang membentuk seperti bola, lalu dengan sekali ayun, telapak tangan Abimanyu mengenai punggung Arka yang berusaha kabur.

Lama-lama tubuh Arka melemah dan akhirnya tidak sadarkan diri. Beberapa pengikut Arka saling berpandangan saat melihat Arka mulai tidak berdaya. Segera mereka menghilang dan kembali ke wilayahnya meninggalkan Arka.

“Buang dia ke lembah Kematian!” perintah Lastri pada Abimanyu.

Laki-laki hanya mengangguk. Kini masalah wilayah terselesaikan. Setelah sekian lama, akhirnya Negeri Goria berada di tangan Lastri. Inilah momen yang paling ditunggu Lastri dan keluarganya.

“Jangan lupa, hamili Adisti. Kita butuh keturunan dari bangsa manusia yang pernah mati suri.”

Lagi-lagi Abimanyu hanya mengangguk. Entah mengapa hatinya mulai tidak tenang sekarang. Berbeda saat Arka tadi datang. Tiba-tiba ia teringat Adisti. Apa yang sedang dilakukan istrinya itu di dunia nyata? Mengapa perasaannya sungguh tidak enak?

Abimanyu menggeleng. Mencoba mengenyahkan pikiran buruknya pada Adisti. Ia akan menengok setelah masalah di alamnya selesai.

“Lambat!” umpat Lastri pada Abimanyu yang masih melamun.

Menyadari raut tidak menyenangkan dari Lastri, Abimanyu segera menyelesaikan pekerjaannya agar segera bisa pergi ke alam Adisti.

Sementara itu di tempat yang berbeda, Adisti tengah berada di dalam mobil Dion. Saat ini mereka berada di jalan menuju rumah Dion.

“Kita mampir beli oleh-oleh untuk ibu Pak Dion,” ucap Adisti membuka suara. Ia tidak enak jika datang dengan tangan kosong.

Tanpa bersuara, Dion hanya mengangguk sebagai jawaban. Ia melajukan mobil ke arah departemen store yang tidak jauh dari rumahnya. Ia tidak tahu apa yang akan Adisti pilih untuk dibawa ke rumahnya, karena itulah ia membelokkan mobil ke departemen store, agar Adisti bisa memilih sendiri apa yang akan dibawa.

Adisti memainkan ponselnya dengan kesal. Karena memiliki hubungan dengan makhluk tak kasatmata, ia tidak bisa berkomunikasi dengan Abimanyu melalui ponsel. Tiba-tiba ia rindu belaian laki-laki perkasa itu.

Adisti berandai-andai Abimanyu adalah manusia normal seperti dirinya, mungkin saja perjanjian dengan Dion tidak akan terjadi. Perjanjian itu benar-benar membuat Adisti sangat tertekan karena harus berpura-pura bahagia dan belum memiliki suami. Padahal ada Abimanyu yang sudah menjadi suaminya.

Tak sampai 1 jam, akhirnya mereka tiba di departemen store yang tidak jauh dari rumah Dion. Laki-laki itu dengan cekatan membukakan pintu untuk Adisti dan menyilakan wanita itu berjalan lebih dulu.

“Apa makanan yang boleh dimakan ibu?” tanya Adisti saat mereka masuk.

“Kalai buah bebas, apa pun boleh dimakan,” sahut Dion singkat.

Adisti mengangguk. Ia berjalan menuju tempat buah lalu meminta petugas untuk membuatkan parsel dengan berbagai macam buah.

“Biar aku yang membayar,” ucap Dion singkat lalu menyodorkan kartu miliknya pada kasir yang menghitung semua belanja Adisti.

Adisti mengernyit. “Jangan begitu, Pak. Nanti saya ganti uang itu.”

Dion menggeleng. “Aku yang akan membayar dan kamu harus patuh. Tidak perlu mengganti. Sebagai gantinya kamu hanya harus berpura-pura mencintaiku di depan ibuku nanti.”

Adiati membelalak. Mana mungkin ia bisa berpura-pura mencintai laki-laki lain? Dihatinya ada ada Abimanyu seorang dan tidak bisa digeser dengan begitu mudahnya.

“Kita lihat nanti.” Adisti berjalan cepat meninggalkan Dion yang masih menunggu kasir memasukkan belanjaan mereka ke dalam kantong plastik.

Dion hanya menggeleng. Adisti adalah wnaita yang unik menurutnya. Wajahnya yang ayu alami memiliki daya pikat tersendiri.

“Kita makan bersama di rumahku.” Dion tidak menunggu jawaban Adisti karena laki-laki itu sudah menyalakan mobil dan melajukannya keluar dari tempat parkir.

Semakin dekat dengan rumah Dion, jantung Adisti berdetak semakin kencang. Ia tidak tahu bagaimana harus bersikap nanti. Apakah ia akan diterima atau dihina? Ia tidak tahu.

“Jangan nervous, kita hanya berpura-pura bukan berhubungan asli, Adisti.”

Seolah tersadar, Adisti segera menegakkan badan lalu menatap ke depan. Tiba-tiba saja percaya dirinya bangkit begitu saja.

Setelah mengucap salam, Dion menggandeng Adisti menuju kamar Dini yang berada di lantai 1 sebelah ruang tamu.

“Ma, aku datang bersama Adisti.”

Dion menyalami Dini, pun dengan Adisti.

Adisti duduk di tepi ranjang dan meraih jemari Dini. “Adisti membawa buah untuk ibu. Mau dikupaskan” tanya Adisti lembut.

Adisti heran dengan dirinya sendiri yang merasa cocok dengan Dini sejak melihatnya. Ia merasa ada ikatan yang mengikatnya kuat untuk berbuat baik.

Dini mengangguk. “Ternyata ini yang namanya Adisti. Ternyata kamu sangat cantik sekali. Tidak salah pak Kartilan mengenalkan kamu.”

Adisti tersenyum mendengar pujian Dini lalu mulai mengupas buah apel. Setelah menarik satu lembar tisu, ia mengupas apel dan menaruh kulit di atas tidur yang dipangkunya.

Melihat itu dengan sigap Dion mengambil piring kecil untuk tempat buah yang sudah dikupas dan dipotong nantinya.

“Ibu sakit apa?” tanya Adisti ingin tahu.

“Biasa, penyakit tua, Adisti.” Adisti mengangguk lalu fokus mengupas apel.

Dini terus menatap Adisti dengan pandangan kagum dan senang. Ia merasa Adisti adalah gadis baik-baik dan pantas bersanding dengan Dion.

Tak lama kemudian, Dion muncul dengan piring di tangan. Ia menyerahkan piring pada Adisti yang telah selesai mengupas apel lalu mengambil tisu yang penuh dengan kulit apel dan membuangnya ke tempat sampah.

Mendapat perhatian sekecil itu membuat Adisti sedikit goyah. Abimanyu tidak pernah memperlakukannya seperti ratu. Mereka hanya bercinta dan bercinta saat bertemu. Tidak pernah sekalipun melakukan hal lain umumnya sepasang suami istri.

“Makan, Bu.” Adisti menyuapi Dini dengan telaten. .”Maafkan ibu ya, Nak. Pertama bertemu memberi kesan kurang memuaskan untukmu. Andaikan ibu sehat ....”

“Ibu akan sehat suatu saat,” sela Adisti cepat.
Dini tersenyum mendengar Adisti menghibur demikian.

Akhirnya mereka berbincang santai seperti sebuah keluarga. Sesekali Dion menimpali dan menggoda Dini bahkan terang-terangan menggoda Adisti di depan ibunya untuk memperlihatkan bahwa mereka benar berhubungan. Tidak hanya sebuah perjanjian.

---

“Siapa dia? Kenapa kamu pulang sama laki-laki lain? Apa hubungan kalian?” bentak Abimanyu saat Adisti baru saja membuka pintu rumahnya.

Sontak Adisti terkejut setengah mati mendengar bentakan Abimanyu. Ia menatap wajah Abimanyu yang telah memerah karena marah.

Abimanyu mencekal pergelangan tangan Adisti karena kesal wanita itu tidak segera menjawab.

“Jawab! Dari mana kamu?” bentak Abimanyu lagi.

“A-aku dari rumah manajer pabrik. Dia mengundangku datang. Tidak hanya berdua. Semua karyawan diundang oleh beliau.”
Terpaksa Adisti berbohong kali ini. Ia takut suaminya akan marah jika tahu ia diantar pulang oleh laki-laki yang dijodohkan dengannya.

Abimanyu mengernyit. Ia menatap wajah Adisti dengan saksama. Lalu tersenyum samar. Ia tahu istrinya telah berbohong.

“Sejak kapan kamu berani berbohong?” hardik Abimanyu.

“A-aku ....”

Belum selesai Adisti menjelaskan, Abimanyu sudah menyeretnya menuju kamar. Dengan buas laki-laki itu menikmati tubuh istrinya. Adisti menitikkan air mata karena perlakuan kasar Abimanyu yang rakus mencium dan menindihnya.

Bagaimana bisa Abimanyu tahu dirinya berbohong? Lantas bagaimana kelanjutan perjodohannya dengan Dion? Banyak pertanyaan yang tidak ada jawabannya di kepala Adiati. Ia menginginkan Abimanyu, tetapi tidak bisa menolak perjodohan itu karena kakeknya.

PERNIKAHAN DUA ALAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang