Bab 13 Usaha Dion

71 4 2
                                    

“Maafkan aku, Sayang. Aku cemburu.” Abimanyu mencoba menenangkan Adisti yang menangis sesenggukan di atas ranjang.

“Pergi kamu!” teriak Adisti. Ia menjauhkan diri dari suaminya lalu beranjak menuju kamar mandi dan meneruskan menangis di sana.

Selama hidupnya, belum ada yang memarahinya hingga membuatnya terluka. Bukan luka yang tampak, justru luka tak tampak yang membekas kiat di hati. Kartilan tidak pernah membentaknya sekali pun.

Adisti mengusap air mata yang membasahi pipinya dengan kasar. Ia kecewa dengan Abimanyu yang berbuat kasar padanya. Padahal mereka baru beberapa hari menikah.

“Maafkan aku, Sayang!” teriak Abimanyu dari balik pintu kamar mandi sambil mencoba membuka pintu. Sayangnya dikunci dari dalam.

Saat tidak lagi terdengar jawaban Adisti, Abimanyu memutuskan pulang.

“Manusia sangat menyusahkan!” gerutu Abimanyu kesal. Ia memang mencintai Adisti, tetapi jika wanita itu menyusahkan seperti sekarang malas rasanya bertemu lagi.

Sementara itu, Adisti terus menangis di kamar mandi hingga matanya membengkak. Setelah puas menumpahkan air mata, Adisti segera mandi dan mengusap kasar setiap inci tubuhnya yang dijamah Abimanyu.

“Sialan!” umpat Adisti kesal.

Lelah menangis membuat Adisti langsung tertidur malam itu. Tubuhnya benar-benar lelah.

Esoknya, Adisti mengucek mata berkali-kali karena mendengar suara panggilan telepon yang lumayan memekakkan telinga.

Saat melihat siapa yang menelepon, seketika ia membelalak. Dion! Adisti ingat malam itu Dion mengatakan akan menjemputnya untuk berangkat bersama. Ia benar-benar lupa dan tertidur lelap.

Gegas Adisti beranjak menuju kamar mandi lalu mandi dengan cepat. Pun dengan bersiap. Ia bergerak cepat, agar bosnya itu tidak marah karena menunggu terlalu lama.

Saat tidak sengaja melewati dapur, ia tersenyum miris. Bahkan dirinya sudah menikah dengan Abimanyu tidak ada yang berbeda dengan rumah ini. Dirinya tetap sendirian dan menyiapkan apa pun tanpa kawan.

“Maaf, Pak. Saya telat bangun. Ini sedang bersiap. Lima menit lagi selesai,” ucap Adisti sambil mengoleskan lipstik nude ke bibirnya.

Tanpa menunggu jawaban dari Dion, wanita itu memutuskan telepon secara sepihak. Lalu meneruskan mempersiapkan diri.

Beberapa menit kemudian, Adisti keluar dari rumah dan terkejut saat melihat Dion sedang duduk di teras bersama kakeknya.

Dion tersenyum samar melihat Adisti yang gelagapan lalu menunduk.

“Maafkan saya, Pak. Saya kesiangan bangun.”

“Kamu kesiangan? Apa kamu gak ingat solat subuh, Nduk?” tanya Kartilan sambil mengernyit.

“A-anu, Mbah. Adisti kesiangan jadi gak sempat solat.”

Kartilan menggeram lalu menggebrak meja. “Mbahmu ini sudah mengingatkanmu Berkali-kali Adisti, jangan lupa sholat!”

Adisti terkejut saat melihat sang kakek sangat marah padanya hanya karena sholat. “Mbah, gak usah lebay deh. Gak sholat sekali doang Allah pasti memaafkan, kan? Gak usah marah-marah napa!” sungut Adisti kesal.

Dion hanya diam tidak menyahut membela salah satu karena itu bukan urusannya. Ia melirik Adisti, matanya tertuju pada bengkak di mata wanita itu.

‘Apa yang terjadi pada Adisti’ batin Dion heran.

“Dasar! Kenapa jadi suka membantah sih kamu ini?” gerutu Kartilan.

“Embah aja yang lebay. Biasanya aku juga jarang sholat hidupku masih baik-baik saja!” jawab Adisti cepat.

“Ngawur kamu!” Kartilan menggetok kepala Adisti dengan kesal. “Gusti Allah itu membenci manusia yang tidak sholat. Seharusnya kamu lebih paham dan tidak lalai sholat. Biar Allah menjaga di manapun kamu berada.”

Adiati memutar bola mata dengan malas. “Sudahlah, Mbah. Adisti berangkat kerja sekarang. Takut telat lagi!”

Adisti meraih tangan kanan Kartilan lalu mencium punggungnya.

“Mbah, saya berangkat dulu bersama Adisti.”
Dion melakukan hal yang sama seperti Adisti. Namun, Kartilan menggenggam jemari Dion erat.

“Tolong jaga dan bimbing Adisti dengan baik, Nak Dion. Aku menggantungkan harapan padamu,” pinta Kartilan lirih.

Dion mengangguk. Ia berjalan mendekati mobil yang sudah ada Adisti di dalam. Wanita itu tampak mengerucutkan bibir terlihat kesal.

“Lama banget sih, Pak!” gerutu Adisti belum hilang rasa kesalnya. Entah apa yang membuatnya bad mood seketika.

“Hmm.” Tidak memedulikan Adisti, laki-laki itu menyalakan mobil lalu melajukannya di jalanan. Sebenarnya belum terlambat benar untuk masuk bekerja, sengaja Dion datang lebih pagi agar mereka memiliki waktu yang lebih leluasa saat perjalanan.

Adisti mengernyit saat arah mobil bukan menuju pabrik. “Jalan menuju pabrik bukan ke sini, Pak. Harusnya belok sebelah kanan tadi.”

“Saya tahu!” jawab Dion singkat.

“Lalu?”

“Kita libur sehari.”

“Mana bisa begitu, Pak! Saya belum izin, nanti gaji saya dipotong bagaimana? Bapak enak orang kaya, saya hanya rakyat jelata, Pak. Ayo balik lagi  saya tidak mau bolos kerja” protes Adisti kesal.

Ia semakin panik saat Dion tidak memutar balik mobil, justru melaju semakin kencang. Dion hanya tersenyum samar melihat Adisti panik.

Sebelumnya ia sudah meminta izin untuk tidak masuk hari ini, pun untuk Adisti. Sengaja ia melakukan itu untuk mengajak wanita itu menuju rumah Ustaz Ramli.

Dion tidak memiliki ilmu apa pun, jadi ia meminta tolong bantuan guru mengajinya untuk mencari tahu apa yang terjadi pada Adisti.

“Diam dan patuh, Adisti!” Dion memperingati Adisti yang terus memprotes Dion.

“Tidak! Mana mungkin aku diam jika Bapak seenaknya seperti ini? Gila ya! Ayo balik, Pak. Saya ingin bekerja saja!” protes Adisti kesal.

“Saya sudah bilang. Kita berdua izin. Jika kamu memaksa bekerja, mau kerja bakti?” sahut Dion santai.

Seketika Adisti terdiam. Ia tidak mau bekerja tidak digaji karena gajinya tidak seberapa. Akhirnya ia memalingkan wajah memandang jalanan. Entah mengapa hatinya sangat kesal hari ini. Jika ada yang memperingatkannya dan tidak cocok dihatinya, ia akan langsung marah. Sama seperti saat Kartilan membahas solat tadi.

Adisti mengernyit saat mobil berhenti di sebuah rumah sederhana yang memiliki pendopo besar di samping rumah dan dikelilingi gazebo yang terbuat dari bambu.

“Kita di mana?” tanya Adisti mengernyit.

“Kita masuk!” Dion segera keluar dan membukakan pintu untuk Adisti.

Adisti terdiam mengikuti langkah Dion. Namun, baru beberapa langkah tiba-tiba kepalanya sangat sakit. Langkahnya terhenti, dipegangnya kepala dengan kedua tangan. Kepalanya sakit seperti ditusuk benda tajam saat ia semakin dekat dengan pintu.

Melihat itu, segera Dion mendekati Adisti. “Kamu kenapa?” tanya Dion panik.

Adisti tidak menjawab. Kepalanya sangat sakit, membuatnya tidak mampu bersuara. Akhirnya ia tidak sadarkan diri di halaman. Beberapa murid Ustaz Ramli yang kebetulan lewat segera mendekati Dion dan Adisti.

“Ada apa, Mas Dion?” tanya Aldi.

“Tolong beritahu Ustaz kalau saya datang. Saya akan ke pendopo sekarang.” Dion segera menggendong Adisti lalu membawanya menuju pendopo dan menidurkannya di bale yang terbuat dari bambu.

Tak lama kemudian, Ustaz Ramli datang. Laki-laki berumur 45 tahunan itu mengernyit melihat Adisti. Rekaman alam perjalanan Adisti berputar di kepalanya.

“Ustaz.” Dion segera menyalami Ustaz Ramli lalu berdiri di samping beliau.

“Dia wanita yang kamu bicarakan?” tanya Ustaz Ramli.

Dion mengangguk. “Iya, Ustaz.”

Ustaz Ramli menghela napas. Lalu mengajak Dion duduk di tengah pendopo yang beralas karpet. Laki-laki itu meminta Aldi dan beberapa temannya mengawasi Adisti.

“Sebenarnya apa yang terjadi padanya, Ustaz?” tanya Dion. Raut wajahnya terlihat khawatir. Tentu saja karena sebagian kecil hatinya sudah tercuri Adisti saat pertama mereka bertemu. Lalu kebetulan sekali sang Ibu menjodohkannya dengan Adisti, kebetulan yang sangat Dion syukuri.

“Dia menikahi dengan makhluk tak kasatmata.”

Seketika Dion membelalak. Ia tak percaya dengan pendengarannya. Menikah dengan makhluk tak kasatmata? Bagaimana bisa?

PERNIKAHAN DUA ALAMWhere stories live. Discover now