Bab 16 Pertemuan Dua Lelaki

86 4 1
                                    

Kini tinggallah keluarga Dion, Adisti, dan Kartilan yang tersisa. Semua tamu sudah pulang. Pun dengan teman-teman Adisti di pabrik. Mereka sangat terkejut saat mendapat undangan pernikahan Dion dan Adisti. Tidak ada yang mengira bahwa diam-diam Adisti menikah dengan manajer pabrik sendiri.

Bahkan, sempat ada yang mengira mereka memiliki hubungan sebelum Dion bekerja di pabrik. Namun, semua itu dibantah Dion. Ia mengatakan bahwa baru bertemu Adisti dan ternyata dijodohkan.

“Kemasi semua barangmu, Adisti. Mulai sekarang kamu istriku. Jadi kamu harus patuh padaku.” Dion menggamit lengan Adisti untuk sedikit menjauh dari orang-orang.

“Kenapa? Bukankah pernikahan ini hanya di atas kertas?” tanya Adisti tidak mengerti.

Dion menghela napas. “Hei, walaupun di atas kertas. Kita harus bersandiwara total dalam hal ini. Bagaimana pandangan orang jika kita baru saja menikah dan ternyata kita tidak serumah? Coba pikirkan apa yang akan mereka katakan? Ingat kakek dan ibuku. Mereka akan curiga.”

Seketika Adisti tidak bisa berkata-kata lagi. Ia lupa bahwa kebohongannya akan membawa kebohongan yang lain. Seperti sekarang, ia membohongi semua orang tentang pernikahannya, akibatnya muncul lagi kebohongan lain yang memaksanya harus patuh pada Dion.

Melihat Adisti tidak berkutik, senyum samar tersungging di bibir Dion. Ia yakin wanita itu akan menuruti ucapannya.

“Baiklah.” Akhirnya Adisti memilih mengalah. Kakek dan orangtua Dion lebih penting sekarang daripada hubungannya dengan Abimanyu. Ia yakin, suami ghaibnya itu akan marah padanya karena tidak berpamitan. Lagi pula, Abimanyu muncul hanya malam hari, dan sekarang masih belum magrib. Mana mungkin Abimanyu akan muncul.

Adisti menghela napas berat. Ia tak menyangka kebohongannya akan menyulitkan diri sendiri.

“Aku akan membantumu berkemas.” Karena jarak rumah Kartilan dan Adisti tidak jauh. Mereka memutuskan untuk tetap mengenakan baju pengantin untuk mengemasi barang Adisti yang tidak seberapa. Wanita itu bukan wanita yang hobi membeli barang.

“Tunggu di luar, Pak.” Adisti membalikkan badan dan menunjuk kursi di ruang tamu.

Dion mengernyit. “Jangan panggil bapak. Aku bukan bapakmu!” sungutnya kesal.

“Baiklah. Tolong tunggu di ruang tamu, Mas Dion.” Bibir Adisti terasa aneh saat memanggil Dion barusan. Ia tidak biasa memanggil mas. Pada Abimanyu ia selalu memanggil dengan panggilan sayang.

Dion hanya mengangguk pasrah. Ia berpikir mungkin Adisti tidak mau ia mengetahui barang privasinya.

“Jika ada apa-apa segera panggil aku.”
Adisti mengangguk sebelum akhirnya membuka pintu kamar. Dengan cepat ia menutup pintu lalu menguncinya.

“Sayang! Keluarlah sekarang!” panggil Adisti setengah berbisik. Ia takut Dion akan mendengar suaranya memanggil Abimanyu.
Namun, hingga beberapa menit kemudian, batang hidung Abimanyu tidak muncul. Karena lelah, Adisti memutuskan segera mengemasi baju dan beberapa barang yang dibutuhkan.

“Maafkan aku tidak pamit. Kamu tidak datang saat kupanggil. Jika ada waktu aku akan mengunjungimu kemari!” ucap Adisti sebelum keluar kamar. Ia yakin laki-laki itu bisa membaca rekaman alam di kamarnya. Pesannya itu pasti akan Abimanyu dengar.

“Ayo, Mas.” Adisti mengejutkan Dion yang tengah sibuk memainkan ponselnya. Laki-laki itu seketika mendongak dan segera memasukkan ponsel ke dalam saku jasnya.

“Kamu baru saja memanggilku mas?” tanya Dion senang. Senyum tipis tersungging di bibirnya.

“Bukankah kamu yang meminta!” sahut Adisti ketus. Ia berjalan mendahului Dion sambil menyeret koper yang berukuran besar.

Melihat itu, Dion hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum tipis. Ia bertekat akan menyembuhkan Adisti dan membuat wanita itu benar-benar mencintai dirinya.

Mengingat jin yang Ustaz Ramli katakan, Dion menghentikan langkah. Ia menoleh ke arah pintu kamar Adisti yang tertutup rapat.
Ia merasakan aura tidak menyenangkan dari dalam sana. Mungkin saja jin itu akan datang. Batin Dion menebak.

Dion mengedikkan bahu lalu berjalan keluar dari rumah Adisti. Tidak lupa ia mengunci pintu depan menggunakan kunci yang Adisti berikan tadi.

“Mbah, kami pamit pulang.” Dion menyalami Kartilan dan mencium punggung tangan yang mengeriput itu dengan haru. Laki-laki tua yang begitu percaya padanya, memindahkan tugas membimbing Adisti ke pundaknya.

“Hati-hati, Nak. Semoga kalian selamat sampai rumah. Titip Adisti. Bimbing dia menjadi wanita baik.” Kartilan semakin erat menggenggam jemari Dion.

Dion mengangguk mantap. “Baik, Mbah. Dion akan menjaga dan membimbing Adisti dengan baik.”

Setelah semua berpamitan, mereka masuk ke dalam mobil. Dion, Adisti, dan Dini, serta pengasuh yang Dion pekerjakan untuk menjaga Dini selama dirinya bekerja.

Selama perjalanan mereka semua terdiam dengan pikiran masing-masing. Dini sudah terlelap karena terlalu lelah, pun pengasuhnya. Hanya Dion dan Adisti yang masih terjaga. Walaupun belum terlalu malam, entah mengapa membuat mereka sedikit mengantuk. Tepat di sebuah tikungan, Dion menginjak rem mendadak. Ia seperti melihat bayangan putih melintas di depan mobilnya.

Sontak Dini dan pengasuhnya terbangun seketika. “Astagfirullahaladzim,” seru mereka bersamaan.

Berbeda dengan Adisti yang terlihat senang melihat kehadiran Abimanyu di luar. Laki-laki itu berdiri di samping pintu keluar Adisti.
Dion menatap Adisti curiga karena hanya wanita itu yang tidak terkejut sama sekali.

“Kenapa mengerem mendadak?” tanya Dini lirih.

Abimanyu menghilang bersamaan dengan suara Dini yang bertanya.

Adisti tampak kebingungan mencari di mana sosok Abimanyu yang baru saja di sampingnya.

“Entah. Sepertinya tadi Dion melihat kucing lewat, iyakan, Sayang?” Dion membuyarkan konsentrasi Adisti yang mencari Abimanyu.

Tergagap ia menatap Dion dan Dini bergantian. “A-apa?”

“Kita tadi hampir menabrak kucing, kan?” Dion memberi kode pada Adisti lewat kedipan mata.

Adisti yang mengerti kode Dion segera mengangguk. “Iya, Bu. Ada kucing menyeberang jalan tadi.”

“Ya sudah. Hati-hati menyetirnya. Jangan lupa terus berdoa dan berzikir.”

Dion segera menancap gas kembali setelah berdoa. Ia yakin ada sesuatu yang lewat tadi, apalagi melihat keanehan reaksi Adisti.

“Aku akan menunggumu pulang. Jika tidak, aku akan menghancurkan pernikahan kalian!” ancam Abimanyu yang hanya bisa di dengar Adisti seorang. Bisikan itu terdengar tepat sebelum Dion melajukan mobilnya kembali.

Adisti menghela napas. Semakin rumit saja masalah hidupnya sekarang. Ia tidak ingin kehilangan Abimanyu, tetapi tidak bisa menolak Dion begitu saja.

---
“Adisti, bangun!” Dion menepuk pipi Adisti setelah mereka sampai di rumah Dion. Dini dan pengasuhnya sudah turun beberapa saat yang lalu.

Dion kembali memanggil Adisti, tetapi wanita itu tetap tidak bergeming. Terpaksa Dion turun lalu membuka pintu milik Adisti, segera ia menggendong istrinya itu menuju kamarnya. Setelah membaringkan Adisti, ia kembali menuju mobil untuk menutup pintu gerbang dan mengamankan mobil.

Saat akan menutup gerbang, ia seperti melihat bayangan laki-laki bertubuh tinggi bersembunyi di balik pohon besar di seberang rumah Dion. Berusaha mengabaikan itu, gegas ia menutup pagar lalu menguncinya.

“Jangan sentuh istriku!” seru Abimanyu yang tiba-tiba muncul di depan Dion.

Dalam beberapa detik, Dion terkejut setengah mati melihat kehadiran Abimanyu yang tiba-tiba. Namun, segera ia bisa menguasai keadaan.

“Siapa kamu?” tanya Dion datar. Ia tidak takut siapa pun, termasuk makhluk tak kasatmata. Dion hanya takut pada pemilik semesta ini.

“Tidak perlu tahu siapa aku. Yang jelas jangan kamu sentuh Adisti barang sekejap.”

“Bagaimana jika aku menyentuhnya? Atau bahkan membuat Adisti mencintaiku?” tantang Dion. Laki-laki itu yakin, makhluk inilah yang dimaksud Ustaz Ramli, yaitu suami ghaib Adisti.

Abimanyu menggeram. “Aku tidak akan membiarkan itu terjadi!”

“Kita lihat saja nanti!” ucap Dion sambil tersenyum sumbang.

Mana mungkin ia mau kalah dengan makhluk yang lebih rendah darinya itu. Sampai mati pun ia akan berusaha menyembuhkan Adisti dan memutus perjanjian cinta mereka.

“Cih, sombong sekali kamu!” ejek Abimanyu. Ia merasa Dion bukanlah tandingannya. Melawan Arka saja ia bisa, apalagi hanya Dion yang manusia biasa.

“Tentu saja aku berani sombong pada makhluk sepertimu yang derajatnya saja lebih rendah dari manusia!”

“Kurang ajar!” umpat Abimanyu kesal.

“Aku hanya takut pada Allah. Jadi, aku akan memperjuangkan Adisti hingga dia terlepas dari makhluk rendah sepertimu!”

“Tunggu saja pembalasanku!”

Abimanyu menghilang setelah berkata demikian. Ia pergi membawa dendam mendalam pada Dion yang telah merebut istrinya.

Tinggallah Dion yang termangu di halaman. Ia menghela napas berat. “Sepertinya permainan akan segera dimulai. Ya Allah, lindungi aku dan seluruh keluargaku. Berikan petunjuk atas semua ini.”

PERNIKAHAN DUA ALAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang