5

375 70 10
                                    


Bebas.

•••

Reflek aku memeluk diri sendiri. "Apa maksudmu, Inui-san!"

Lelaki itu malah menyentil dahiku. "Hontou baka."

"Kau harus menukar seragam mu yang terkena siraman kuah ramen, lalu oleskan salep luka bakar ini." Dia menjelaskan sembari menunjuk salep yang baru saja ia ambil dari kotak obat.

"Terus aku memakai pakaian apa?" Aku bertanya mengingat hari ini tidak ada jam olah raga sehingga aku tidak membawa baju olah raga. Ditambah, hoodie yang menutup kemeja sekolah tidak cukup menahan kuah tadi hingga seragam sekolahku turut terkena.

Inui tampak berpikir, tak lama dengan santai ia membuka seragam sekolahnya.

"H-hei! Apa yang kau lakukan!?" Dengan cepat aku menutup wajah meski jari-jari terbuka sedikit untuk mengintip.

Lagi-lagi dia menyentil dahiku. "Sia-sia kau menutup wajah jika tetap mengintip. Pakailah seragamku, aku masih memakai kaos di dalamnya. Dasar gadis mesum."

Ia melemparkan pakaiannya padaku lalu memberiku salep tadi.

"Aku akan tunggu di luar."

Inui meninggalkan ku sendirian di ruangan serba putih ini dan mengabaikanku yang sudah tersipu malu.

Dengan cepat aku melepas hoodie serta seragam sekolah.

"Aku membawa ini untuk-"

Kami saling bergeming hingga aku sadar ke mana arah pandangannya. "Kyaa! Hentai!"

Aku menutup tubuh dengan seragam yang baru ku lepas.

Inui mengalihkan pandangannya ke arah lain seraya meletakkan sebuah baskom berisi air dan kain kecil di dalamnya. "Ah, maaf aku hanya ingin memberimu ini untuk membersihkan tubuhmu."

"A-arigatou."

Ia mengangguk kecil kemudian keluar dari sini.

Baiklah ini bukan salah siapapun. Melainkan salah pintu yang tidak bersuara sama sekali ketika dibuka!

Dengan cepat aku membasuh diri lalu mengoleskan salep tadi dan memakai pakaian Inui.

Oh tidak, lagi-lagi aku tersipu malu ketika mencium aroma khas Inui di pakaiannya.

Apakah aku sudah tampak seperti gadis mesum?

Tok tok tok

"Kau sudah selesai, [Name]-san?" Ternyata Inui memilih untuk mengetuk terlebih dahulu.

"I-iya." Sial aku malah terdengar sangat malu.

Ketika pintu dibuka Inui masuk bersamaan dengan sosok lelaki lainnya yang ku kenal.

"Dia akan mengatakan satu hal padamu," ujar Inui.

Koko yang berdiri di samping Inui terlihat gugup.

Ohoho apakah lelaki menyebalkan ini berniat meminta maaf? Aku tersenyum menyeringai menantikannya.

"Aku ... gomen," ucap Koko dengan nada kecil.

Akan menyenangkan bila ku kerjai.

"Apa? Kau berbicara sesuatu Koko-san? Aku tidak mendengarnya."

"Koko katakan dengan jelas." Kali ini Inui yang menyuruhnya. Aku jadi yakin jika Inui lah yang membuat Koko ingin meminta maaf padaku.

Koko berdecak. "Ck gomen."

"Tuhan memang maha pemaaf, tapi tidak denganku."

Lelaki kadal itu semakin tampak kesal. "Lantas, apa yang kau inginkan? Uang?"

Apakah yang ada dipikirannya itu hanyalah uang?

Aku menggelang. "Bukan masalah uang, aku ingin kalian melepasku dari belenggu budak atau apalah itu. Kita anggap saja kesalahanku sudah dibalas dengan setimpal."

Koko melirik Inui sekilas. "Baiklah, tidak masalah."

Aku tersenyum penuh kemenangan. Pada akhirnya aku berhasil bebas, dan bisa kembali pada kehidupanku yang tenang.

Teringat sesuatu, dengan ragu aku mencobanya. "Ano ... Inui-san mungkin ini adalah pertanyaan yang dapat mengganggumu, tetapi jika diizinkan aku ingin bertanya."

Ia mengangguk mengizinkan.

"Tadi kau terlihat sangat khawatir. Apakah kau mempunyai kenangan buruk terhadap luka bakar? Ah bicara apa aku ini, maafkan aku Inui-san." Ku akhiri kalimat dengan kekehan canggung.

Betapa bodohnya diri ini. Bukankah sudah jelas jika ia memiliki trauma terhadap luka bakar.

Atmosfir unit kesehatan menjadi sunyi. Baik Koko maupun Inui enggan membuka suara.

"Rumahku pernah kebakaran, aku selamat dari sana tetapi kakakku meninggal setelah dinyalakan kritis."

Inui menunjuk bekas luka bakar di dahinya. "Dan luka bakar di sini membuatku mengingat rasa sakitnya. Jadi kupikir kau juga merasakan hal yang sama."

Ia menjelaskan dengan lancar.

Di sisi lain, aku mendengar gumaman Koko. Dia menyebut nama seseorang kalau tidak salah Akane.

"Siapa Akane? Koko menyebutnya."

Koko menatapku sinis. "Orang bodoh tidak pantas menyebut nama Akane-san."

"Sialan!"

"Dia kakakku," sahut Inui.

Aku langsung menggenggam tangan Inui, merasa bersalah. "Maafkan aku Inui-san. Mulutku ini memang sering berujar hal tidak berguna."

"Tidak masalah."

Aku tersenyum senang.

Tak lama sebuah pikiran tidak berguna kembali melintas di otak.

"Ada satu hal lagi yang mengganjal di pikiranku. Kenapa Koko-san menyebut nama Akane-san?"

Koko berdiri dari duduknya lalu menjulurkan lidah. Si kadal kembali berulah.

"Dia satu-satunya wanita yang kucintai," jawabnya dengan santai.


***

Pythagoras | Kokonoi x Reader x InuiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang