BAB 3

597 130 142
                                    

Selamat membaca Bulan Prasbiru!

__

Tepatnya Rabu, genap dua minggu aku jadi murid baru di sekolah. Pukul 12.30, aku tengah duduk di bangku panjang dekat telepon umum yang sudah tidah berfungsi, dekat salah satu SMP di daerah Rancanumpang, pula tidak jauh dari SMA-ku, sambil makan bandros dari abang-abang lewat sebagai teman menunggu Ayah menjemput.

Beberapa teman-teman yang sudah mengenalku melambaikan tangannya ketika melewati diriku. Hari itu, cukup senang. Aku mulai sering diajak nimbrung dengan teman-teman kelas lainnya, selain Arum dan Dira, dua teman pertamaku di Bandung.

Ayah bilang lewat telepon saat istirahat tadi bahwa ia akan pulang lebih cepat sehingga bisa menjemputku, namun, menginjak pukul 13.25 batang hidung Ayah tidak kunjung kutemui. Ayah tidak bisa dihubungi baik melalui handphonenya ataupun ke telepon kantor.

Waktu terus berjalan, aku mulai jenuh. Pukul dua siang, Adit, anak OSIS baru pulang dan melihatku masih duduk manis sendirian. Adit mendekat dengan motornya kemudian bertanya, "Kamu sudah pasti dijemput atau belum, Ja? Kalau belum sama saya aja," ucapnya sambil membenarkan letak kaca matanya.

"Duluan aja, Dit. Aku pasti dijemput ayah kok."

"Yasudah kalau begitu, saya pamit duluan. Hati-hati Ja, Bandung tidak setenang yang kamu kira."

Aku mengangguk. "Iya, dikit lagi juga dijemput paling."

Keadaan jalan semakin sepi, paling hanya beberapa motor saja yang lewat. Sampai pada kisaran pukul 14.20, segerombolan laki-laki berseragam putih biru mendekat ke arahku. Ada lah hampir dua puluh orangan.

Salah satu di antara mereka bertanya padaku dengan cara tidak sopan. "Eh, tuh SMP geus balik belum sih?"

Aku menaikkan kedua bahu. "Kurang tahu ya."

Kemudian kudengar ada yang nyeletuk, "Ka belakang SMA coba, Do, biasanya ada digubuk sebelah warung."

"Langsung datengin aja nih? Ayo dah berapa orang?" jawab seorang yang lain.

"Bertiga aja. Dimas, Budi sama kamu."

Belum ada satu menit aku menelepon Ibu, tiga orang tersebut langsung jalan ke arah belakang sekolahku dan selebihnya malah duduk di sekitaranku. Jujur, aku memang sudah ada curiga bahwa mau terjadi apa-apa. Segera aku hubungi Ayahku sekali lagi, namun tetap tidak ada jawaban. Akhirnya aku telepon Ibu, minta tolong untuk kabarin ayah biar aku pulang sendiri saja.

Tidak lama dari itu, terdengar suara raungan ricuh dari ujung sekolah menampilkan tiga orang tersebut tengah lari dikejar puluhan siswa SMP dekat sekolahku.

Mereka, tawuran.

Aku langsung berdiri kala segerombol di dekatku semua mengeluarkan benda-benda tajam dan berlarian tidak jelas melawan musuh-musuhnya di seberang. Tanganku gemetar habis dan berusaha melindungi diri dari balik pohon. Kalimat kasar, suara gesekan benda ke aspal, suara tonjokan dan semua yang mengerikan bisa aku dengar dan lihat. Mereka semua sangat menyeramkan.

"Ah!"

Aku mendongak dengan wajah panik ke arah laki-laki dengan rambut dikuncir kecil yang mencengkram lenganku. Aku tidak mengenalnya, sama sekali tidak tahu. Wajahnya jelas bukan anak lagi anak SMA. Waktu itu, dia pakai kemeja kotak-kotak biru, jeans hitam, tas selempang coklat muda dan sepatu putih yang cukup bersih. Hal pertama yang ada dalam benakku kala itu adalah, aku mensuudzoni dirinya seorang preman pasar yang mau menculik atau mencopet dompetku.

"Apa sih?!" ketusku.

"Ikut saya, ini sedang tawuran! Bahaya!"

Aku mendecak agak kasar. Bagaimanapun, aku tetap harus berjaga-jaga dari iming-iming diajak ikut dalam kondisi sempit. Secara, aku bukan orang Bandung yang sudah tahu letak-letak tempat. Ayah juga bilang, bahwa harus jaga-jaga dengan laki-laki, siapapun itu. Karena laki-laki, besar kemungkinan sulit dipercayai.

BULAN PRASBIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang