BAB 5

467 111 31
                                    

Selamat membaca Bulan Prasbiru!

1.

"Ayah mana, Bu?" tanyaku pada Ibu yang sedang menyiapkan sarapan pagi.

Ibu menatapku. "Kak, kamu tahu sendiri kan Ayah itu khawatir kamu dekat sama laki-laki. Ayah punya trauma besar. Ibu paham gimana perasaan Ayah. Kamu boleh dekat sama laki-laki, tapi tolong dikenalkan dulu ke Ayah. Biar Ayah tahu orangnya dulu ya, Kak."

Keningku mengerut tidak mengerti. "Maksud Ibu apa? Aku nggak paham."

"Di luar ada laki-laki mau jemput kamu katanya."

Aku melotot kaget dan langsung berlari ke luar rumah. Ah, Kak Biaska susah amat sih dibilanginnya!

"Kak Biaska? Jadi dijemput?" sapaku dengan sikap tenang.

Ayah geleng-geleng sambil berjalan masuk. "Benarkan kata Ayah. Kakak ... Kakak ...."

Pasti Ayah mengira bahwa tujuanku tidak mau lagi diantar jemput dengannya karena aku dekat dengan Kak Biaska. Sudah jelas itu bukan kenyataannya. Tapi, ah tahu lah!

Segera aku rapi-rapi dan pamit ke Ayah Ibu untuk berangkat lebih cepat. Aku tidak mau Kak Biaska terlalu lama sehingga ada celah diinterogasi sama Ayah. Ya walaupun tidak ada masalahnya, hanya saja aku belum berani untuk mengungkapkan siapa diriku sebenarnya. Aku tidak kuasa menahan sesak menyadari ada orang lain yang mengetahui bahwa aku hidup dari keluarga yang pecah.

"Kak Biaska ngobrol apa aja sama Ayah?" tanyaku dengan suara agak keras agar meredam suara raya.

"Cuma nanya aja, gue tinggal di mana."

Aku mengangguk-angguk. "Nanti turunin aku sampai depan gang aja ya, Kak. Aku nggak enak sama teman-teman Kakak."

Dia melirikku dari kaca spion. "Masa puteri dibiarin turun di pinggir jalan? Udah, pokoknya lu aman sama gue!"

Sesampainya di parkiran sekolah, seluruh sudut penjuru sekolah melirik sinis ke arahku. Mereka sudah pasti mengira bahwa aku anak baru yang suka cari perhatian sama Kakak kelas. Padahal, Kak Biaska yang memaksa.

Aku diantar dirinya sampai persis di depan kelas. Kemudian aku masuk dengan tatapan Arum menelisik tajam. Aku duduk di sebelahnya, lalu bertanya, "Dira mana, Rum?"

"Bukannya ngejelasin hubungan sama Kak Biaska, malah nanya Dira di mana? Sumpah, maneh teh aneh! Buru jelaskeun!"

Aku melotot kecil ke arah Arum. "Sstt! Apa sih, Rum? Orang aku cuma dijemput doang. Nggak ada hubungan apa-apa, sumpah."

Ranin, Suryani, Erna mendekat ke arah meja dengan kipas tangan tidak henti mengipas wajahnya. "Gosip euy?" tanya Erna dengan wajah menyelidik.

"Kamu pacaran sama Kak Bias, Ja? Sejak kapan ih?" tanya Ranin.

"Kamu pake jurus naon bisa nyolek Kak Bias? Jago bener," tambah Suryani.

Adit menoleh dari bangku depan ke arah mejaku. "Kamu pacaran, Ja, sama Kak Bias?"

Aku menghela napas panjang, kemudian, tersenyum lebar. "Tolong ya teman-teman, aku dan kak Biaska itu tidak-"

"Senja." Aku mendongak. "Ini buat lo."

Kuraih cokelat dari tangan laki-laki tersebut, kemudian mengangguk. "Makasih." Aku tidak mengenal dia, tidak pernah lihat juga sebelumnya.

"Adam, dua belas Ipa dua," ucap Ranin.

Arum geleng-geleng kepala, heran. "Jadi pengen tukeran muka."

"Jadi sebenarnya kamu sama Kak Bias apa Kak Adam sih?"

BULAN PRASBIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang