BAB 11

371 83 11
                                    

HALO HALO !!
Satu minggu berlalu dan jika kamu masih kembali ke ruang ini, maka besar hati aku sangat sangat sayang ke kamu!!
Semoga kamu selalu merasa cukup dan sehat selalu

Selamat membaca Bulan Prasbiru !!

____

Motor melaju menerobos raya yang hingar bingar bising mencekik. Tidak ada yang menarik di sekitar, terkecuali punggung manusia di hadapanku. Teduh, napasnya tidak memburu. Wanginya melekat merengkuh. Nyaman dipeluk selalu.

“Semalam saya telepon yang angkat Ayahmu.”

Kutatap wajahnya dari kaca spion. "Iya, tahu. Kenapa telepon ke telepon rumah? Dapat dari mana nomornya?"

"Ya biar Ayahmu yang angkat, trus tahu tujuan saya mau ke siapa."

"Kalau bisa tahu nomor telepon rumah, kenapa nggak sekalian aja cari tahu nomorku?"

"Kalau ke kamu, ada kemungkinan lain nggak diangkat karena nomor telepon tidak dikenal."

"Ah nggak juga. Kadang mesti diangkat supaya tahu siapa yang telepon. Kecuali, kalau pas diangkat obrolannya nggak jelas, pasti langsung aku matiin."

"Sama kalau ditelepon saya, pasti dimatiin."

Keningku mengerut. "Karena?"

"Karena kamu lagi marah ke saya malam itu."

Dia menatapku dari kaca spion, sedangkan aku melengos menghadap raya.

"Saya mau ketemu, mau bicara sama kamu langsung. Kalau seandainya saya telepon ke nomor kamu lalu kamu mematikannya secara sepihak, kita akan putus komunikasi. Kalau ke Ayahmu, dia pasti akan sampaikan dan kamu penasaran sama saya."

Aku melirik agak judes. "Sok tahu amat!"

"Memang tahu."

"Ish!" pekikku sebal, namun, ia malah tertawa.

"Memangnya semalam kamu ke mana, Senja?"

Aku terdiam mendengar pertanyaan darinya. Kalimat Kak Biaska merancukan pikiran. Apa semstinya aku juga harus menceritakan tentang keluargaku pada Duta? Bukankah Duta sudah seharusnya tahu tentang itu? Pula, aku sudah menerima seutuhnya keadaan tersebut. Lantas, apa yang membuatku mengurung diri sedangkan dunia saja berbaik hatinya seluar biasa itu?

“Ini kita menuju ke mana, Ta?” alihku.

“Taman Labirin. Kenapa?”

Aku mengangguk-angguk. “Aku mau cerita sesuatu ke kamu di sana.”

Ia melirikku dari arah kaca spion, kemudian mengangguk.

Kami memesan dua es kelapa dan mencari letak tempat duduk yang pas untuk berbincang. Agak kesal menyadari aku yang meleleh hanya karena bertemu dengannya padahal semalam habis-habisan merutuki serapah. Duta … Duta. Bandung dibuat apa olehmu sesampai membuatku menjadi seperti ini?

“Makan mie ayam, mau?”

Aku menggelengkan kepala. “Kamu mau juga?”

“Saya mau mie ayam, kalau kamu mau yang lain ya silahkan.”

“Aku bubur ayam aja deh.”

Dia mengangguk. “Oke, tunggu di sini biar saya yang pesan.”

“Jangan pedas!” seruku kala ia tengah berbalik badan untuk bergegas.

BULAN PRASBIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang