BAB 6

402 103 15
                                    

Halo !!
Apa kabarnya?

Maaf aku baru sempat update lagi karena aku benar-benar lagi sibuk sekali 😿 tapi terima kasih untuk yang masih setia menunggu. Aku sangat mengapresiasi karena setia itu mahal. Dan janjiku akan update itu bukan sebuah kebohongan ☺😸

Selamat membaca Bulan Prasbiru !!

1.

Pergerakanku terhenti kala mendengar suara dering telepon. Dengan asal kuletakkan kanvas lukisnya, lalu segera mengambil ponselku.

“Buna!”

Halo, Kak! Apa kabar, Kak? Buna kangen.”

“Kakak juga, Bun. Kangen banget. Gimana kabar Buna, Pupa sama Abang?”

Alhamdulillah sehat, Kak. Gimana sekolah di Bandung? Ada yang jahat nggak?

“Seru, Bun! Teman-teman baik semua. Ada Arum, Dira, Adit, Ranin, banyak deh pokoknya. Kakak sering main ke rumah Adit soalnya nggak jauh dari sekolah gitu, Bun. Kan sekolah Kakak juga nggak jauh dari kantor Ayah.” Nada bicaraku ceria sekali.

Iya, Ayah bilang ke Buna begitu. Ayah bilang, kamu udah nggak dijemput kalau pulang sekolah?

Aku terdiam sejenak. “Iya, Bun. Kakak pengen naik angkutan umum aja sama teman-teman yang searah. Lagi juga, Bun, Kakak nggak mau ganggu waktu Ayah. Kadang kan Kakak pulangnya nggak nentu. Jadi Ayah suka repot kalau mau jemput Kakak.”

Iya juga. Kasian Ayah jadi bulak-balik. Ya namanya juga anak satu-satunya perempuan. Takut kenapa-napa, jadi dibela-belain capek. Ayah sayang kamu, Kak.

Aku tersenyum. Duh, rasanya teduh sekali kalau bicara dengan Bunaku.

“Bun, Pupa batuk-batuknya udah mendingan apa gimana?"

Telepon hening sejenak. “Minggu kemarin sudah ke dokter lagi. Sudah dikasih obat yang lebih bagus katanya. Ya alhamdulillah mendingan. Progressnya semakin membaik.”

Aku menghela napas. “Bilang Pupa, Bun, nggak usah sibuk kerja terus. Hidup Kakak juga kan sekarang udah ditanggung Ayah. Pupa nggak usah sepenuhnya. Kakak baik-baik aja di sini. Ayah juga lancar terus, Bun.”

Ayah sehat, Kak?

“Sehat, Bun. Kakak sering diajak jalan berdua sama Ayah. Nggak jarang juga kalau Kakak mau tidur suka nemenin. Dia sering bilang gini tahu, Bun, ‘Anak Ayah cantik kayak Ibunya yang di Jakarta’.”

Suara di seberang telepon menghela napas.

Kangen, pengen kumpul bertiga.”

Pelupuk mataku mulai membasah. Itu cita-citaku. Bisa kumpul dalam satu rumah dengan orang tua kandung. Seandainya bisa, bahkan kata paling manis saja tidak sampai tergambarkan.

“Bandung nggak kalah menyenangkan dari Jakarta, Bun. Kakak boleh cerita?”

Percakapanku dengannya membeku sejenak. Aku rasa ia tahu apa yang ingin aku utarakan lewat telepon hari itu. Pula, sebenarnya membicarakan hal tersebut memang kemauanku sejak awal. Aku tidak ingin mengurung namanya dari keluargaku.

BULAN PRASBIRUWhere stories live. Discover now