Chapter 01

5.3K 526 46
                                    


Juli 2009

Umurku 9 tahun, dan hari ini aku baru saja berulang tahun.

Untuk anak seusiaku, mungkin ulang tahun adalah hari yang istimewa dan penuh perayaan. Ada kado, kue, dan balon warna-warni.

Suasana yang digambarkan pastinya suasana penuh gelak tawa dan sorak sorai.

Bukan sendu dan pilu seperti apa yang tengah aku rasakan saat ini.

Ya, saat ini. Detik ini. Setelah aku mendengar fakta mengejutkan dari mulut Ayah secara langsung. Bahwa, Ibu telah pergi.

"Mulai sekarang, kalau masih mau tinggal di rumah saya, jangan pernah membahas tentang wanita brengsek itu lagi."

Itu adalah keputusan final yang tidak bisa diganggu gugat, meski Kak Aksa telah berdiri dari duduknya, menatap kosong kepergian Ayah yang menghilang di balik pintu kamarnya.

"Maksudnya apa..." gumaman pelan terdengar hampa dari mulut Kak Aksa.

Aku yang duduk membisu di sebelah Kak Aksa tidak bisa menggerakkan tubuhku. Semuanya terasa kaku. Netraku hanya terus mengikuti bagaimana Kak Aksa berlari mendekati pintu kamar Ayah, menggedornya berkali-kali sambil memanggil-manggil pria paruh baya tersebut, meminta kejelasan atas ucapannya beberapa saat lalu.

"Ayah! Maksudnya apa, Yah?! Maksud Ibu pergi sama laki-laki itu apa?! Kakak nggak ngerti!"

Aku memejamkan mata ketika mendengar suara teriakkan serak dan tangis pilu yang keluar dari mulut Kak Aksa sambil tangannya tidak berhenti menggedor pintu kamar Ayah.

Mataku perlahan basah. Aku tidak bisa menahan lagi air mata yang mendobrak memaksa ingin keluar dari kelopaknya.

Memangnya apa yang anak umur 9 tahun sepertiku bisa lakukan ketika mendengar berita bahwa Ibu kandungku sendiri rupanya menelantarkan keluarga ini dengan pergi bersama laki-laki lain hanya karena usaha yang Ayah bangun dari nol bangkrut karena ditipu orang tidak bertanggung jawab. Apa yang bisa aku lakukan selain menangis memikirkan apa yang akan terjadi dengan keluarga ini setelahnya.

Rumah ini semakin hampa. Rasanya menyesakkan hingga aku tidak sanggup untuk bernapas.

-

Meskipun masih duduk di sekolah dasar, aku cukup peka untuk memahami bahwa keluargaku bukanlah jenis keluarga yang sering aku tonton di serial tv di mana sang suami akan mencium kening sang istri ketika dia pergi bekerja. Bukan juga yang akan makan bersama di meja makan ketika waktunya sarapan dan makan malam.

Keluarga ini hanya orang-orang yang terdiri dari Ayah, Ibu, dan dua anaknya kemudian tinggal di bawah atap yang sama. Namun, tidak berbagi kehangatan di dalamnya.

Aku terus berpikir, apa yang akan terjadi padaku dan Kak Aksa ke depannya setelah kepergian Ibu yang mendadak dan meninggalkan keterkejutan ini.

Seakan memahami perasaanku, cuaca sore ini mendung.

Aku berjongkok di box pasir taman bermain yang ada di komplek perumahanku sambil menggenggam ranting pohon di tangan. Kutusuk-tusukkan ranting tersebut ke pasir hingga menimbulkan beberapa bolongan, seakan hanya inilah yang bisa aku lakukan untuk mengurangi kesedihan yang menyesakkan dada ini.

"Ghia!"

Kepalaku sontak menoleh begitu mendengar namaku dipanggil oleh seseorang.

Dan ternyata, itu Bagja. Anak laki-laki yang seusia denganku dan tinggal di rumah sebrang—tepat di hadapan rumahku.

Aku mengacungkan ranting di tanganku, menggoyangkannya sebagai tanda sapa. "Hai."

"Lagi ngapain?" tubuh kurus itu ikut berjongkok di samping tubuhku, kemudian menatap bolongan-bolongan yang baru saja aku ciptakan, "Mau hujan lho, jangan main lama-lama."

1520Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang