Chapter 10

1.1K 359 27
                                    


April 2021

That humiliating moment when I cried on Bagja's shoulder was unforgettable.

Tidak ada percakapan apapun di antara kami bahkan hingga aku sampai di depan rumah. Bagja tidak mampir, tidak bertanya, bahkan tidak mengucapkan selamat tinggal sampai aku mengira bahwa kejadian dibonceng Bagja adalah bagian dari mimpi.

Namun, ketika besoknya aku kuliah dengan mata bengep habis menangis, dan Bagja menghampiri mejaku untuk makan bersama di kantin, aku tahu kalau kejadian tempo hari bukanlah mimpi.

Kami tidak bercakap-cakap, aku bahkan tidak punya energi untuk itu. Anehnya, hanya dengan makan berdua dalam diam sudah cukup membuat energiku kembali meski sedikit demi sedikit.

Aku dan Bagja berpisah setelah selesai makan, dan begitulah hari pertama di bulan April berlalu begitu saja.

My life is such an April fools.

Aku tidak berpapasan dengan Lana setelah kejadian kemarin. Antara Lana yang memang tidak ke kampus, atau kami yang memang tidak ditakdirkan untuk bertemu. Setidaknya Tuhan baik untuk alasan menyakitkan itu.

Sekarang aku bahkan tidak tahu apa yang harus aku lakukan terhadap tugas kuliahku? Aku harus lulus di mata kuliah ini karena aku tidak mau mengulang hingga menyebabkan harus menambah semester, namun mangkir dari tugas kelompok bukanlah ciri-ciri mahasiswa yang bisa lulus mata kuliah penting.

Aku tidak menyalahkan Lana atas kejadian kemarin. Tatapannya yang clueless benar-benar membuktikan kalau dia tidak tahu menahu soal latar belakang ibu tirinya itu.

Kalau lelaki yang kabur dengan Ibu 12 tahun lalu adalah Ayahnya Lana, bisa jadi Lana dan Ibu sudah kenal selama itu pula. Dan selama itu, Ibu menyembunyikan identitasnya dengan baik.

Aku benar-benar tidak habis pikir, bagaimana bisa wanita itu hidup dengan tenang setelah apa yang dia lakukan pada keluarganya 12 tahun lalu?

Kalaupun dia memang tidak ingin tinggal dengan Ayah yang jatuh miskin, setidaknya mereka harus bercerai dulu secara hukum. Bukannya kabur dengan hanya meninggalkan secarik surat perpisahan, menuliskan kalau dia sudah tidak sanggup hidup sulit dengan Ayah.

Padahal sekarang pun, Ayah sudah bisa kembali bangkit dari keterpurukan itu sampai-sampai bisa menyekolahkanku, membeli rumah baru dan membeli mobil tua. Membuktikan Ayah adalah sosok yang ulet dan pekerja keras, bukannya lepas tanggung jawab dan kabur dengan meninggalkan hutang.

Tapi mungkin, memang itu sudah takdir.

Aku lebih bahagia tanpa Ibu. Memikirkan selama aku hidup dengan Ibu, aku tidak pernah punya memori menyenangkan sedikit pun, membuktikan bahwa dia memang tidak memberikan kesan apapun dalam hidupku. Aku bahkan sudah tidak ingat sebelum usiaku 9 tahun, apa saja yang telah aku lalui hingga bisa tinggal satu atap dengan wanita itu?

Ngomong-ngomong, aku belum cerita tentang pertemuan hari itu kepada Ayah. Sepertinya sih, tidak akan. Aku tidak ingin melihat wajah sedih Ayah tiap kali mengingat Ibu. Dan aku juga tidak mau Ayah mengorek kembali luka lamanya yang sudah lama kering.

Hidup Ayah sudah cukup sulit. Aku tidak perlu menambah beban pikirannya lagi.

-

Aku menghembuskan napas lega begitu terlepas dari awkward moment ketika duduk bersama Lana beberapa saat lalu.

Karena hari ini memang ada mata kuliah yang bersangkutan, aku dan Lana terpaksa duduk berdekatan dan mendiskusikan mengenai project kami. Aku sudah mencoba memberanikan diri menatap matanya, namun Lana terus-terusan menghindari tatapanku.

1520Where stories live. Discover now