Chapter 03

1.2K 333 26
                                    


April 2012

Gundukan tanah basah di hadapanku bahkan tidak bisa membuat aku menitikkan air mata.

Nampaknya yang menangis sore itu hanyalah langit yang tidak hentinya mengguyur bumi hingga sedikit menghambat proses pemakaman yang tengah dilaksanakan saat ini.

Aku tidak bisa melihat dengan jelas wajah orang-orang di sekitarku, semuanya terlalu buram. Bukan karena gerimis yang turun, melainkan karena aku bahkan tidak bisa mendeteksi siapa-siapa saja yang menghadiri prosesi pemakaman ini. Entah sanak saudara dari mana, atau teman Ayah yang mana, aku tidak fokus.

Begitu lubang ditutup rapat menciptakan gundukan tanah basah, Ayah—sebagai satu-satunya orang yang aku kenali di sini menaburkan bunga di atasnya.

Satu persatu orang mulai meninggalkan pusara, menyisakan kami berdua yang berdiri berdampingan dengan tatapan kosong mengarah pada batu nisan yang tertancap di tanah bertuliskan;

Aksa Sadewa

Bin

Radeva Wijaya

11 April 1995 – 10 April 2012

Padahal besok ulang tahun Kak Aksa, tapi Tuhan punya takdir-Nya sendiri.

Subuh tadi, aku mendengar kabar kalau Kak Aksa dilarikan ke rumah sakit karena mengalami kecelakaan lalu lintas akibat balapan liar.

Seperti yang sudah kalian ketahui, Kak Aksa hobi keluar malam sejak kepergian Ibu.

Dia mengalami pendarahan di otak yang lumayan parah sehingga harus segera dilakukan operasi.

Ayah yang masih harus menyelesaikan pekerjaan hanya memberi arahan via telfon, menyuruhku untuk tenang dan temani Kak Aksa di rumah sakit sampai Ayah tiba. Segala macam administrasi yang harus ditandatangani Ayah pun akhirnya aku yang mewakili meskipun usiaku belum legal.

Semuanya terlalu tiba-tiba.

Pukul 10 pagi ketika dokter keluar dari ruang operasi dan menyatakan bahwa nyawa Kak Aksa tidak bisa diselamatkan, yang aku rasakan saat itu hanyalah kehampaan. Lututku lemas, namun anehnya aku masih sanggup berdiri.

Pengumuman kematian itu diterima Ayah tepat 5 menit setelah beliau tiba di rumah sakit dengan nafas ngos-ngosan. Tidak mengucapkan sepatah katapun, hanya fokus mengambil nafas.

Namun 5 menit setelahnya, Ayah justru harus kembali kehabisan nafas karena kabar duka tersebut.

Tidak ada yang bicara. Ayah bahkan tidak meneteskan air matanya ketika mengurus administrasi rumah sakit, memandikan, menyolatkan, hingga memakamkan jenazah Kak Aksa.

Detik ini pun, Ayah tidak kelihatan menangis, meski aku tahu hati Ayah pasti jelas tercabik menyadari fakta bahwa anak sulungnya yang bandel itu kini telah pergi untuk selama-lamanya.

Aku tidak akan mempertanyakan kenapa Ayah tidak terlihat berduka padahal baru saja ditinggal anak laki-lakinya, karena aku pun sama saja.

Aku lebih merasakan murka yang dominan dibandingkan kesedihan, karena sadar bahwa Ibuku, Ibu kandung kami, justru tidak hadir di pemakaman anak sulungnya meski aku sudah memberitahunya via pesan.

"Ayah, Ibu nggak dateng."

Ayah tidak menanggapi. Alih-alih, tangannya bergerak mengusap puncak kepalaku pelan, membuat aku mati-matian menahan diri agar tidak terisak detik ini juga ketika merasakan kehangatan tangan Ayah di puncak kepalaku meskipun telapak tangannya sedingin es.

"Adek pulang duluan aja."

Hatiku serasa diremas. Ini kali pertama Ayah memanggilku adek setelah bertahun-tahun kami bahkan tidak berkomunikasi.

1520Where stories live. Discover now