Chapter 09

1K 353 54
                                    


Maret 2021

Jaket bomber wangi maskulin sudah kehilangan wangi alaminya begitu aku mencucinya tadi malam.

Aku sedikit menyesal kenapa harus mencucinya padahal jaketnya tidak kotor sama sekali karena hanya sempat aku pakai sekali—dua, tiga kali mungkin.

Ah, baiklah. Maaf. Aku mengaku, aku beberapa kali mengenakannya saat tertidur. Ini dosa terbesarku.

Kenapa aku bisa dengan lancang melakukan hal tidak senonoh seperti itu, sih? Kesannya aku seperti melakukan sesuatu pada jaket Bagja, tapi aku bersumpah aku hanya mengenakannya saat terlelap.

Dan hari ini, tibalah waktu di mana aku harus mengembalikan jaket ini pada pemilik aslinya.

Agak tidak rela, tapi aku tidak boleh egois. Maksudnya, pasti Bagja hanya mencoba berbaik hati kan, tempo hari karena melihat aku diganggu oleh rekan kerjanya. Dia tidak punya maksud apa-apa. Aku saja yang terlalu percaya diri, sampai berpikir yang tidak-tidak.

Karena aku tahu anak semester 1 ada kelas siang ini, aku sengaja duduk-duduk di dekat ruang kelas Bagja—aku tahu ngomong-ngomong kalau dia kelas A karena waktu Ospek jurusan aku sempat melihat datanya.

Dan benar saja, ketika 15 menit sebelum kelas akan dimulai, aku melihat Bagja baru keluar dari lift dengan setelan kaos putih dan jeans hitam robek seperti biasa. Dia mengenakan tas slempang hitam dan topi di kepalanya.

Tampilan kasual yang kadang masih suka membuat aku melongo karena proporsi tubuhnya yang begitu attractive.

"Bag—" aku merapatkan bibirku begitu ingat, "Kinar!"

Sosok itu mendongak setelah sedaritadi hanya fokus pada ponselnya.

Sadar siapa yang memanggilnya, lagi, reaksi alami Bagja adalah mematung di tempat selama beberapa jenak, sebelum akhirnya menatapku dengan jenis tatapan yang tidak ada ramah-ramahnya.

Diam-diam aku kecewa, ternyata kebaikannya tempo benar-benar hari hanyalah formalitas belaka. Benar adanya, Bagja tidak akan lagi menjadi Bagja yang dulu. Padahal sepulangnya dari bengkel aku sempat percaya diri kalau Bagja sahabatku telah kembali.

Namun sepertinya hari itu hanya sebuah kebetulan.

Aku segera berdiri dari dudukku dan menyerahkan jaket bomber miliknya, berharap dia tidak kabur terlebih dulu begitu melihat barangnya ada padaku.

"Mau ngembaliin jaket."

Seakan baru teringat, air muka Bagja tidak lagi sejutek sebelumnya, "Oh..."

"Makasih." aku menyodorkan jaket tersebut dan Bagja menerimanya dengan ekspresi canggung, "Gue lupa belum bilang makasih juga buat yang waktu itu. Makasih, ya."

"Heem," Bagja hanya bergumam singkat sambil menganggukkan kepalanya satu kali, "Jangan ke bengkel itu lagi lain kali."

Aku mengerutkan keningku, "Kenapa?"

"...nggak ramah buat cewek. Cari bengkel lain aja."

"Lo udah lama kerja di situ?"

Jujur, rasanya aneh bicara begini dengan Bagja. Namun karena Bagja duluan yang memberi batas di antara kami, aku berakhir hanya mengikuti permainannya.

"Dari Januari tahun kemarin."

Aku tidak bisa menyembunyikan keterkejutanku. Bukan karena jawaban Bagja, tapi karena Bagja MAU menjawab pertanyaanku. Tadinya aku pikir dia akan melengos begitu mendengar pertanyaanku yang sok ingin tahu.

"Oh... udah lama... kenapa kerja?"

Aku sudah bersiap-siap jika saja Bagja akan memberiku tatapan mematikan karena tidak kapok menginvasi privasinya, namun ternyata cowok itu tidak bereaksi banyak.

1520Where stories live. Discover now