Chapter 06

1.1K 352 30
                                    


Juli 2020

Bandung terik pagi ini.

Baru pukul 10 tapi keringat sudah bercucuran di kening dan leherku. Belum lagi basah di balik baju himpunan yang untungnya dapat disembunyikan karena bahannya berwarna navy.

Setelah berdoa dan menaruh setangkai mawar merah di atas pusara Kak Aksa, aku berdiri kemudian melangkah meninggalkan pemakaman.

Semalam Kak Aksa mampir ke dalam mimpiku. Di mimpi tersebut, Kak Aksa mengenakan seragam SMA dan duduk di atas motor besarnya. Dia menatap ke arahku, lalu tersenyum dengan senyuman yang samar-samar aku ingat.

Memori senyuman Kak Aksa sudah terkubur dalam sekali. Mungkin dia terakhir tersenyum sebelum Ibu pergi meninggalkan rumah dengan laki-laki lain, dan itu sudah lama. Lamaaa sekali. Jadi aku hanya bisa mengingat senyuman itu samar-samar.

Tapi, rasanya lega bisa melihat senyuman Kak Aksa ketika dia mengenakan seragam SMA. Karena seingatku, Kak Aksa tidak pernah bahagia semasa dia duduk di bangku sekolah menengah.

Di bawah pusara itu, terkubur jasad Kak Aksa yang mungkin sudah melebur bersama tanah. Di sana sosoknya masihlah Kak Aksa yang berusia 17 tahun, dan selamanya akan begitu.

Beberapa minggu lalu aku baru berulang tahun yang ke-20. Dan kini usiaku sudah 3 tahun lebih tua dari Kak Aksa yang pergi satu hari sebelum ulang tahunnya yang ke-17. Meski pergi meninggalkan luka, aku kini sudah tidak sedih lagi tiap kali mengingat Kak Aksa.

Kejadian memilukan itu sudah 8 tahun berlalu, dan yang aku kenang dari Kak Aksa hanyalah hal-hal baiknya saja.

Seperti ketika kami membaca komik bersama di loteng rumah, seperti ketika aku menonton Kak Aksa membuat sketsa di buku gambarnya, atau seperti ketika aku membaca setiap lembar coretan buku harian Kak Aksa yang menceritakan betapa dia khawatir dengan masa depanku.

Meskipun selama tiga tahun tak ada komunikasi dua arah di antara kami, rupanya Kak Aksa masih memperhatikanku dalam diam, dan dia coretkan isi kepalanya di buku harian tersebut.

Semenjak itu, aku sudah tak risau lagi. Setidaknya aku tahu Kak Aksa masihlah Kak Aksa yang penuh kasih sayang seperti dulu.

Sebelum benar-benar meninggalkan pemakaman, aku teringat sesuatu.

Setiap langkah mengiringiku pada pusara lain tidak jauh dari tempat di mana Kak Aksa disemayamkan.

Mama.

Meski aku sering mengunjungi pusara Kak Aksa untuk sekadar bercerita, sejujurnya aku tak pernah berani menghampiri milik Mama.

Selain karena kesedihan yang diciptakan dari melihat nisan Mama jauh lebih dahsyat dari saat aku melihat nisan Kak Aksa, aku selalu teringat akan seseorang yang aku rindukan sejak 5 tahun terakhir ini.

Sudah 5 tahun. Dan aku masih tidak mendengar secuil pun kabar dari lelaki itu. Lelaki penebar kebahagiaan yang justru menorehkan luka ketika di penghujung jalan dia pergi tanpa mengucap salam.

Tahun lalu, aku sempat mengunjungi pusara Mama dengan kehampaan yang memenuhi rongga dada. Fakta bahwa rumput-rumput di atasnya panjang-panjang seperti tak terurus membuktikan bahwa bertahun-tahun tidak pernah ada keluarga Mama yang berkunjung.

Yang artinya, Bagja tidak pernah benar-benar pulang ke sini.

Namun hari ini, ketika ekspektasiku berpikir bahwa aku akan menemui rumput-rumput panjang di pusara Mama, aku justru tertegun saat—untuk pertama kalinya, pusara Mama terlihat terawat.

Rumputnya pendek, dan ada taburan bunga di atasnya seakan-akan baru ada orang yang mengunjunginya.

Jantungku berdetak kencang, meskipun aku tahu kemungkinan aku tiba-tiba dipertemukan dengan Bagja adalah nol besar.

1520Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang