Chapter 05

1.1K 338 61
                                    


Maret 2015

3 hari lalu aku mendengar kabar mendadak kalau Bagja sedang pergi ke rumah Neneknya di Jogja, sehingga dia tidak bisa dikunjungi terlebih dahulu selama beberapa hari.

Aku sejujurnya cukup sedih, karena biasanya hampir setiap hari sepulang sekolah, aku menghabiskan waktu di rumah Bagja seperti parasit, atau kadang Bagja yang menghabiskan waktunya di rumahku untuk numpang mencari ketenangan.

Sekarang Bagja tidak ada selama 3 hari dan aku merasa hidupku hampa, padahal sepanjang tahun aku selalu mengalami kehampaan, namun yang kali ini adalah yang terhampa di antara yang lalu-lalu.

Ternyata keberadaan Bagja betul-betul bagai suntikan energi bagiku.

Bukan hanya Bagja sebenarnya, kebaikan orang tuanya juga salah satu faktor mengapa aku merasa lebih hidup dan terpenuhi afeksinya selama beberapa tahun terakhir.

Argya Savita: kapan pulang

Bagja Kinara: hari ini hahahaha

Bagja Kinara: kenapaaaa kangen yakkk

Argya Savita: hampa terasa hidupku tanpa dirimu

Bagja Kinara: apakah diii sanaaaa kau rindukan akuuuu

Bagja Kinara: seperti dirikuuu yang slalu merindukanmu selalu merindukanmuuuu

Argya Savita: beneran?

Bagja Kinara: boong lah

Argya Savita: idiiiiiiih gitu

Bagja Kinara: hahahaha sabar, ini udah di jalan kok. Palingan malem nyampe

Bagja Kinara: tungguin yaw, kita amboksing bakpia kukus

Argya Savita: hati hati

Bagja Kinara: baiiiik

Argya Savita: BENERAN HATI HATI JA

Bagja Kinara: buset iyaaaaaa

Aku menatap layar ponselku dengan senyuman penuh.

Rasanya kehampaan tadi seketika hilang hanya dengan bertukar pesan seperti ini beberapa menit saja.

Siang itu, aku ketiduran. Tidurku nyenyak dan tenang, tanpa ada firasat sedikit pun kalau itu akan menjadi pesan terakhir kami.

-

"Ghia. Ghia bangun."

Aku mengerutkan keningku. Pandanganku kabur, aku bahkan tidak sempat memikirkan hal lain seperti harus menyalakan lampu atau setidaknya mengecek siapa orang yang mengguncang bahuku kasar hingga tidurku terganggu menciptakan denyutan kuat di kepala.

"Ghia, bangun. Kita ke rumah sakit sekarang."

Mendengar kata rumah sakit, sontak kesadaranku seakan ditarik begitu saja. Aku membuka mata lebar-lebar, menemukan Ayah dengan setelan pulang kerja berdiri di samping ranjangku.

Tidak biasanya. Bahkan meski aku tidak ada di rumah sekalipun, Ayah tidak akan pernah berani menginjakkan kakinya di kamarku.

"Kenapa..." aku menyahut serak, bangkit dari posisiku mencoba tenang dan berpikir positif.

"Ke rumah sakit, Dek. Keluarganya Pak Wardana kecelakaan."

Jantungku langsung berdenyut nyeri begitu mendengar Ayah mengucapkan nama Papanya Bagja.

Tidak.

Tidak mungkin.

Baru beberapa jam lalu aku bertukar pesan dengan Bagja dan mengatakan hati-hati pada cowok itu, lalu apa ini? Kabar macam apa yang baru saja aku terima?

1520Where stories live. Discover now