Chapter 11

1.1K 349 67
                                    


Mei 2021

Setelah obrolan tentang masa lalu Bagja terungkap, hubunganku dengan Bagja perlahan membaik.

Tidak yang SANGAT baik. Namun, cukup baik.

Dia kini berani menyapaku ketika kami tidak sengaja berpapasan di koridor. Aku bahkan tidak pernah menerima penolakan ketika mengajaknya untuk makan siang bersama saat jadwal kuliah kami tidak sengaja bersinggungan.

Bagja juga kini banyak menanyakan tugas-tugas kuliah padaku, meminta saran ini dan itu yang tidak pernah aku duga akan dia tujukan padaku.

Aku bahkan baru tahu kalau gambaran Bagja sebagus itu. Padahal seingatku, terakhir kali aku melihatnya menggambar, gambaran dia lebih payah dariku.

Selama menghilang, sebenarnya apa saja yang sudah dia pelajari sampai-sampai tidak ada hal yang tidak bisa dia lakukan.

"Ghia."

"Ya?" aku mendongak dari drawing pad-ku, menatap Bagja yang tengah menyelesaikan tugasnya di meja sebrang.

Dia fokus menggambar di tabletnya, tanpa mendongak dia berujar, "Weekend mau ke rumah gak?"

Aku tertegun mendengarnya.

Jujur saja, setelah percakapan kami tempo hari, meskipun hubungan kami perlahan membaik, tapi kami tidak pernah lagi membahas apapun yang berhubungan dengan masa lalu.

Jangan harapkan kami bakal bernostalgia, aku bahkan segan jika harus membahas hal-hal yang pernah kami bicarakan saat kecil dulu. Sekadar menanyakan apakah dia masih membaca komik Detektif Conan saja rasanya aku hampir mau mati karena takut dia akan menjaga jarak lagi dariku.

Maka, sekarang aku selalu berhati-hati jika bicara dengannya. Sebenarnya dulu pun, yang sering mengoceh itu justru Bagja. Tapi sekarang Bagja jauh lebih pendiam, makanya suasana di antara kami kesannya masih sedikit canggung—saking jarangnya sekali pembicaraan yang berlangsung.

Kalaupun kami menghabiskan waktu berdua, tidak akan jauh-jauh dari kegiatan yang tidak mengharuskan kami untuk bicara. Seperti makan atau menggambar. Kami akan ududuk berdua, lalu menyelesaikan kegiatan masing-masing. Sesekali bertanya formalitas, namun hanya sekadar itu.

Makanya sekarang aku kaget karena Bagja tiba-tiba mengajakku ke rumahnya. Aku kira ajakannya tempo hari hanya basa-basi belaka.

"...ngapain?" tanyaku pelan sambil pura-pura sok sibuk menggambar lagi di drawing pad-ku.

"Qinda..."

"Kenapa?"

"Biar Qinda ada temennya."

Aku mendongak lagi, dan kali ini tatapanku beradu dengan milik Bagja. Lelaki itu rupanya sudah mengangkat kepala dari tabletnya dan kini tengah balas menatapku.

Ah, kadang aku masih tidak siap melihat jenis tatapan itu dari Bagja.

Binar menggemaskan yang dia tunjukkan saat kecil kini hilang tak bersisa. Yang Bagja lakukan sekarang, cukup membahayakan jantungku.

"Qinda nggak punya temen?"

Bagja tersenyum kecil lalu menggeleng, "Nggak punya. Makanya lo ajak ngobrol gih, siapa tahu nyambung."

Well, technically I don't have a friend either. Tidak ada yang dekat sekali denganku kecuali jika urusan tugas kuliah dan organisasi. Semuanya hanya sebatas itu.

"Tapi Qinda bukannya benci sama aku dulu?"

"Dia nggak benci, cuman suka cemburu. I don't know about now, she never really met one of my friends, so she never reacted to it."

1520Where stories live. Discover now