Chapter 07

1.1K 355 36
                                    


September 2020

"Itu maba yang namanya Kinar katanya lulus 2018, seangkatan sama kita. Gue jadi segan mau ngobrol sama dia karena berasa sama temen seangkatan, tapi statusnya adik tingkat. Mana dia suka kayak kepaksa gitu kalo diajak ngomong."

Aku menoleh ketika mendengar Akbar membicarakan Bagja dengan nada seakan meremehkan.

Tanpa bicara apapun padanya, Akbar nampaknya sudah cukup paham lewat tatapan mataku kalau aku menyuruhnya untuk diam, sehingga dia langsung menutup mulutnya dan tidak lagi melanjutkan percakapan tersebut dengan temannya.

Sudah 2 bulan sejak pertemuan pertamaku dengan Bagja, namun tidak pernah sekalipun kami berinteraksi atau bertukar kata.

Sejujurnya, aku ingin sekali menyapanya dan menanyakan kabarnya selama 5 tahun terakhir, namun aku takut. Takut kalau ekspektasiku tentang Bagja akan runtuh begitu tahu kalau dia sudah bukan lagi Bagja yang aku kenal bertahun-tahun lalu.

Sekarang Bagja sudah jauh lebih tinggi dari dia yang 5 tahun lalu aku peluk di pemakaman Mama. Bentuk wajahnya jadi agak tirus, tidak tembam lagi seperti dia yang dulu. Kalau dipikir-pikir, badannya juga kurusan—entah karena stress, kurang makan, atau memang pubertas.

Dan, rambutnya! Itu yang membuatku super pangling, karena dulu Bagja tidak pernah sekalipun memanjangkan rambutnya. Dulu model rambutnya tidak akan melebihi telinga. Tapi sekarang, ujung rambutnya sudah mencapai leher, dan poninya agak gondrong hingga jika disibak, akan terlihat berjatuhan.

Sekilas, aku bingung dengan perasaanku sendiri yang bisa-bisanya deg-deggan karena melihat teman masa kecilku berubah menjadi lebih—attractive daripada saat dia remaja dulu.

Padahal aku sangat yakin, dulu yang aku rasakan pada Bagja bukan jenis perasaan macam ini. Tapi kenapa sekarang jadi tidak menentu, sih.

Oh, iya. Beberapa hari lalu Ospek Universitas baru saja selesai dilaksanakan. Itu adalah hari terakhir aku bertemu Bagja, maba dan mahasiswa semester 5 jadwalnya tidak pernah bentrok, jadi aku agak kesulitan berpapasan dengan dia di Fakultas.

Sepercik pemikiran muncul di dalam kepalaku. Kalau aku tidak sengaja berpapasan dengan Bagja di Fakultas, saat itu juga aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatanku untuk mengajaknya bicara empat mata.

Karena aku, butuh penjelasan.

-

Hari ini tidak begitu terik meskipun sudah pukul 1 siang. Dari pagi, Bandung memang sempat hujan lebat. Sebelum berhenti pukul 11 tadi, sehingga sekarang cuacanya agak mendung.

Aku memanfaatkan kesempatan tersebut untuk mengambil beberapa gambar lewat kamera ponselku sebagai bahan referensi mata kuliah Perancangan Identitas Visual karena tema yang diusung adalah nature. Aku sedang mencari ide untuk desain gambarku nantinya, tapi hampir seminggu, ide tersebut tak kunjung muncul juga.

Ada bagusnya kalau aku hunting ke tempat wisata alam, hanya saja aku belum punya waktu untuk itu mengingat aku sudah kurang tidur karena begadang untuk menyelesaikan mata kuliah Perancangan Komik. Aku menggambar hampir 12 jam, tapi aku baru menyelesaikan beberapa strip komik saja. Rasanya sebentar lagi aku hampir gila.

Karena pukul 3 nanti aku masih ada kelas, aku memutuskan untuk kembali ke Fakultas untuk mengistirahatkan diri di selasar.

Sekembalinya ke Fakultas, aku mendapati sosok yang aku tunggu-tunggu selama ini—agar berkesempatan untuk mengobrol dengannya—akhirnya bisa aku temui dalam momen yang tepat.

Kelihatannya Bagja—sang tersangka yang sudah aku cari keberadaannya sejak beberapa minggu terakhir—juga tengah santai, karena dia sedang duduk di selasar FSRD sambil anteng merokok.

1520Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang