Chapter 08

1K 332 36
                                    


Februari 2021

"Dek, mobil kayaknya udah harus di-service. Mau kamu yang bawa gak?"

Aku yang tengah mengerjakan tugas di ruang TV menoleh ketika Ayah datang dari luar rumah dengan tangan yang berlumuran oli.

"Gak ngerti Ayah, akinya bau banget."

"Nanti kalo nabrak lagi gimana." gumamku ragu mengingat kemampuan menyetirku yang masih agak payah.

Setelah hampir setahun belajar bahkan aku masih sering menggores badan mobil ketika akan parkir. Bulan lalu ketika terakhir kali aku meminjam mobil untuk membeli bahan tempur untuk keperluan tugas, aku sempat menabrak tong sampah besi di depan rumah yang lagi, membuat badan mobil semakin codet.

"Gapapa, namanya juga belajar."

"Belajar terus tapi nggak bisa-bisa mah bego, Yah, bukan namanya juga belajar."

"Gak boleh gitu." setelah mengatakan itu Ayah meninggalkanku menuju dapur, "Besok mumpung libur bawa ke bengkel."

Aku tidak mampu menolak.

Hubunganku dengan Ayah sejujurnya semakin membaik setiap tahunnya. Namun, karena gaya bicara Ayah yang memang cenderung datar dan wajahnya yang tidak begitu berekspresi, percakapan kami jadi terdengar garing. Padahal memang begitu cara Ayah berinteraksi.

Bahkan aku jarang melihat Ayah tertawa ketika menonton hal lucu, entah mungkin kotak ketawanya sudah rusak atau bagaimana.

Anehnya, dia masih berusaha melucu di tengah interaksi super canggung kami.

"Dek, panci buat masak mie mana, ya?"

"Ada di rak piring."

"Gak ada."

"Terakhir adek liat di situ."

"Pergi apa, ya."

"Hah, pergi ke mana?"

"Berpetualang."

"...apa, Yah?"

"Kan Panci Petualang."

Contoh percakapan yang hampir membuat aku mati karena malu mendengarnya.

Tapi meski begitu, aku bersyukur setidaknya sekarang Ayah sudah jauh lebih berani untuk bicara padaku, daripada dulu di mana dia bahkan tidak mampu menatap mataku.

Mungkin karena wajahku yang cenderung mirip Ibu, Ayah jadi segan menatapku langsung dan berinteraksi denganku. Aku tidak menyalahkan Ayah, karena mungkin lukanya jadi terus-terusan tergores tiap melihat wajahku.

Entah usaha apa yang bertahun-tahun Ayah lakukan untuk melatih dirinya agar bisa menatapku, karena sekarang, dia sudah bisa bicara tanpa mengalihkan kontak mata. Aku senang.

-

Perjalanan dari rumah menuju bengkel mobil tidak menghabiskan banyak waktu. Karena jaraknya tidak begitu jauh, jadi sekitar 15 menit sudah sampai—harusnya sih 10 menit juga sampai jika bukan aku yang menyetir dengan kecepatan 40km/jam.

Benar kata Ayah, begitu dilajukan mobilnya jadi bau aki. Aku tidak paham kenapa, Ayah juga sama tidak pahamnya sepertiku. Dia bahkan tidak memberi instruksi yang lebih detail, sehingga begitu aku sampai di bengkel mobil aku bingung harus mengatakan apa pada pegawainya.

"Service semuanya aja, A. Kayaknya." aku menjawab agak ragu-ragu, namun begitu melihat nota yang diberikan dengan jumlah total harga yang harus aku bayar di akhir, aku langsung hampir kena serangan jantung.

Aku buru-buru menelfon Ayah, "Ayah, mahal banget. Uangnya gak cukup kalo service semua."

"Ya udah bilang aja akinya konslet, jadi bau nyengat."

1520Where stories live. Discover now