5. Tempat Biasa

569 128 16
                                    

Mata Malia masih terasa lengket ketika bunyi alarm memenuhi telinga dan memaksanya bangun. Dia tercengang melihat angka jam yang tertera di layar ponselnya. "Ya, ampun! Jam 7!"

Sial. Dia terus menyumpahi dirinya sendiri lantaran salah mengatur waktu alarm. Secepatnya dia membersihkan diri dan mengenakan seragam. Tidak sempat memakai bedak apalagi lipstik, Malia segera berlari ke dapur. Di sana, dia melihat Mbok Bar sedang duduk santai sambil menikmati teh hangat. Jika Mbok Bar sudah santai, artinya semua keluarga Brighton sudah selesai sarapan. Oh, dobel sial.

"Apakah Alex ... maksud saya, Tuan Alex sudah turun, Mbok?" tanya Malia sambil berusaha mengatur napas dan mengadu keberuntungan barangkali saja nasib baik masih memihaknya.

"Tuan muda, Tuan Darius, dan Nyonya semuanya sudah turun," balas Mbok Bar sebelum menyuapkan sepotong roti lapis ke mulutnya.

"Mampus." Sebuah umpatan lolos dari mulut Malia tanpa sadar. Malia lalu menepuk dahinya.

"Ora usah nesu," kata Mbok Bar dalam bahasa Jawa.

"Saya nggak marah, Mbok. Mm, saya marah sama diri saya sendiri, Mbok. Saya telat bangun karena salah mengatur alarm." Malia mengembus napas pasrah. Baru beberapa hari bekerja, dia sudah telat bangun.

"Duduk dulu," kata Mbok Bar.

Rona panik mewarnai wajah oval Malia. Dadanya kembang kempis dengan cepat seiring ketakutan yang merengkuh dirinya. "Saya pasti akan dipecat, Mbok."

"Duduk dulu," kata Mbok Bar lagi.

Malia akhirnya memutuskan untuk duduk di seberang meja, berhadapan dengan Mbok Bar. Bahunya terasa lemas, begitupun seluruh tubuhnya. Dia hanya bisa menunduk.

"Mereka sedang berada di kolam renang. Tidak masalah kamu bangun siang. Toh, hari ini kan weekend."

"Apa, Mbok?" Malia mengangkat wajahnya menatap Mbok Bar penuh antusias.

"Hari ini hari libur. Seluruh asisten juga boleh libur."

Malia mengembus napas lega. Bodoh sekali dia tidak menyadari kalau hari itu adalah hari Minggu. "Syukurlah kalau begitu. Ngomong-ngomong, Mbak Tina ke mana, Mbok?"

"Tina sedang belanja ke Tanah Abang. Dia mau kirim baju buat saudara-saudaranya di kampung."

"Mbok Bar tidak ke mana-mana?"

"Saya nggak bisa ke mana-mana. Setiap weekend saya lembur."

Tiba-tiba interkom yang melekat di dinding di samping pintu dapur berbunyi menginterupsi obrolan mereka. Mbok Bar segera bangkit dari duduknya. Sesaat kemudian wanita itu sibuk menyiapkan tiga gelas minuman.

"Biar saya saja yang membawanya ke sana, Mbok." Malia menawarkan bantuannya.

"Kamu mau?"

"Iya, Mbok. Biar saya saja." Malia dengan cekatan meraih baki berisi tiga gelas minuman yang telah dibuat Mbok Bar.

"Ya, sudah. Hati-hati."

Dengan hati-hati Malia membawa baki itu ke kolam renang. Sebenarnya, niat Malia hanya ingin melihat reaksi ahli waris satu-satunya keluarga Brighton ketika melihatnya lagi, apakah dia akan bereaksi sama seperti semalam atau tidak?

Namun, apa yang menjadi pertanyaan Malia akhirnya terjawab dengan sikap cuek Alex. Reaksi Alex terlihat biasa saja saat melihatnya. Sama seperti ketika pria itu menemuinya di sini, di taman ini semalam. Dia bahkan terkesan tidak menganggap keberadaan Malia. Aneh.

Ada kekosongan dalam hati Malia ketika melihat keanehan sikap Alex Brighton. Beralasan untuk pergi ke kamarnya pada Mbok Bar, Malia diam-diam menyelinap masuk ke dalam rumah ke kamar Alex. Penyelidikannya berhenti di jendela besar yang masih tertutup tirai. Malia membuka sedikit tirai dan dari sana dia mengamati gerak-gerik keluarga Brighton yang tengah bermandikan sinar matahari pagi di kolam renang. Mereka—keluarga brighton—tampak akrab satu sama lain. Berbeda dengan semalam di mana seluruh anggota keluarga itu tampak kaku dan menjaga jarak satu dengan yang lainnya.

The Brighton's SecretWhere stories live. Discover now