6. Apakah Hanya Sekadar Pengalihan?

536 138 9
                                    

Malia meralat isi kepalanya yang mengatakan kalau selama beberapa hari ini dia hanya mendapatkan perlakuan aneh dari anak keluarga Brighton. Faktanya, dia menyaksikan dan mendengar sendiri perselingkuhan anak dan ibu tiri tersebut. Perut Malia tiba-tiba merasa mual mengetahui semua itu. Alex dan Elizabeth benar-benar hina di matanya.

Malia tiba sore hari di rumahnya dan mendapati pintu rumah itu terkunci. Sambil berusaha menghubungi Genta melalui ponselnya, Malia duduk di bangku kayu di teras. Malia nyaris putus asa ketika Genta tak kunjung mengangkat panggilan teleponnya. Namun, kegelisahannya hanya berlangsung kurang dari sepuluh menit. Deru mesin sepeda motor memasuki pelataran rumah sederhananya.

Genta segera turun dari motor matic-nya lalu melepaskan helm. Sambil berjalan menuju beranda yang hanya berjarak beberapa meter saja dari halaman, pria berjaket kulit cokelat itu melayangkan tanya kepada Malia. "Sudah lama nunggu?"

"Belum, Mas. Paling baru sepuluh menit saja."

Genta membuka kunci dan mendorong daun pintu sampai terbuka lebar. Dia membiarkan Malia masuk lebih dulu sementara dia membuka sneakers putihnya. Pria itu langsung ngeluyur masuk ke ruang makan sekaligus dapur untuk mengambil segelas air minum. Dia lalu kembali ke ruang tamu dan duduk di samping Malia yang saat itu sedang menonton TV.

"Gimana kerjaan kamu?" tanyanya.

"Baik, Mas. Masih aman dan lancar." Malia mengubah posisi duduknya sedikit miring hingga bisa melihat jelas wajah kakaknya. Perasaan sedih menyelusup ke dalam dirinya melihat garis-garis lelah di wajah Genta. Sedari kecil, kakaknya itu telah berjuang sangat keras untuk bisa menghidupi keluarga mereka. Hidup tanpa seorang ayah membuat Genta lebih cepat dewasa dan memiliki tanggung jawab yang besar. "Apakah Mas baru menjenguk Ibu?"

Genta meneguk air putih dinginnya sampai setengah gelas. Pria itu kemudian mengembus napas sebelum menjawab pertanyaan Malia. "Iya."

"Bagaimana keadaan Ibu, Mas?"

"Keadaan Ibu masih sama." Genta meletakkan gelasnya di atas meja di depan sofa. "Kamu kapan mau menjenguk Ibu? Apakah kerjaan kamu sekarang nggak ada libur?"

"Setiap weekend aku dikasih libur, Mas. Satu hari. Mungkin minggu depan aku akan menjenguk Ibu. Hari ini aku membantu ART lain. Aku nggak enak mau libur, baru beberapa hari kerja sudah libur."

Genta mengarahkan pandangannya pada Malia. "Kamu nggak boleh mengabaikan Ibu. Bagaimanapun kondisinya, Ibu adalah ibu kita. Ibu memang sakit dan mungkin tidak mengenali kita lagi, tapi Ibu tetap butuh dukungan kita."

"Aku tahu, Mas. Aku tidak bermaksud mengabaikan Ibu. Aku hanya ingin bekerja dengan baik sehingga aku bisa membantu Mas membiayai pengobatan Ibu."

"Aku kan sudah bilang kalau biaya pengobatan Ibu, biar aku yang menanggungnya," sambar Genta sedikit kesal dengan kekerasan hati adiknya.

"Mas, sampai kapan Mas akan mengabaikan hidup Mas sendiri? Teman-teman Mas sudah pada menikah dan punya anak, tetapi Mas masih saja sibuk mengurusi aku dan Ibu. Biarkan aku ikut membantu Mas. Aku tidak mau selamanya menggantungkan semua kebutuhan Ibu kepada Mas. Kita berbagi, oke?"

Genta berdecak kesal. Adiknya itu memang keras kepala. Namun, ada baiknya jika Malia mau berbagi tanggung jawab karena itu tandanya dia berhasil mendidik Malia menjadi orang yang tahu dan sadar akan tanggung jawab.

"Terserah kamu saja. Namun, kamu jangan memaksakan diri kalau kamu sudah merasa lelah. Aku tidak mampu kalau harus membiayai pengobatan dua orang sekaligus."

Malia tersenyum senang kekerasan hati kakaknya akhirnya mencair. Wanita berhidung mancung itu meletakkan tangannya yang terbuka di samping pelipis memberi hormat. "Siap, Ndan!"

The Brighton's SecretWhere stories live. Discover now