𝐏𝐑𝐎𝐋𝐎𝐆

596 67 15
                                    

𝐖𝐀𝐑𝐍𝐈𝐍𝐆. mild swearing, drinks, teasing.
𝐍𝐎𝐓𝐄. gue salting sendiri waktu proofread bagian ini astaga akshaksjsjsk

 gue salting sendiri waktu proofread bagian ini astaga akshaksjsjsk

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

“Tunggu sebentar, Dazai, budek lo ya.” Omel kamu, menghela napas kasar sambil menutup pintu mobil milik Kunikida.

Dazai memutar mata jengah, “Ngaca doang lama, lo udah cakep maksimal, percaya sama gue.”

Kunikida mengunci mobil, kemudian ikut mengomeli Dazai. “Bisa santai gak? Barnya gak bakal kemana-mana juga.”

Atas permintaan—lebih tepatnya pemaksaan dan pengancaman—dari Dazai buat merayakan libur semester, kamu sama Kunikida menemani Dazai ke bar.

Sebuah plang dengan tulisan bar Lupin itu menyala merah di depan sebuah gedung yang begitu megah. Entah dapat akses dari mana—kamu sama Kunikida gak mau tau—Dazai bisa masuk ke bar yang sifatnya privat dan member only.

Ketika kalian memasuki bar tersebut, perhatian Dazai langsung tertuju ke tempat duduk di depan bartender dan langsung ngobrol sama cowok berambut jingga kecoklatan yang kamu kenal—Chuuya, masih sefakultas tapi beda jurusan.

“Dazai!” Protes kamu.

Cowok itu nyengir sambil ngoceh, “Have a blast y’all~!!”

Kamu sama Kunikida cuma bisa memaklumi Dazai yang gak punya personaliti sama sekali itu. Kalian yakin gak akan pulang bareng nantinya.

Kunikida juga ternyata punya kenalan, cowok berambut cepak berkacamata dari fakultas teknik; Katai.

“Kalo ada apa-apa, gue sama Katai di bar yang ujung sana.” Ucapnya sambil menepuk pundak kamu sekilas.

“Okay.” Sahut kamu singkat.

Sementara kamu ditinggal sendirian sama mereka, kamu memutuskan buat menelusuri bar.

Kamu naik ke lantai dua, dimana situasinya lebih tenang karena pengunjung lebih sedikit, lantai ini khusus buat suasana yang kalem.

Musik mengalun dengan lembut, kamu duduk di salah satu kursi bartender, disambut hangat seorang laki-laki berpakaian rapi.

“French 75, please.” Ujar kamu memesan.

“Coming right up, Miss.” Sahutnya, mulai menuang gin ke dalam champagne flute.

Kamu kurang familiar dengan tempat yang intens semacam privat bar kayak gini, tapi setelah bergelut dengan kegiatan akademik kampus, melepas penat di bar adalah reward buat kamu.

Bertepatan dengan French 75 disajikan di hadapan kamu, seorang laki-laki datang dan duduk berseling satu kursi di samping kiri kamu.

“Yang biasa?” Tukas bartender menyambut dengan senyuman yang menyiratkan kenalan lama.

Yang kamu dengar dari jawaban laki-laki di sebelah kamu cuma gumaman singkat, lalu bartender mulai menuangkan rye whiskey ke dalam gelas old-fashioned.

Kamu menyempatkan diri buat memperhatikan laki-laki itu dari bawah ke atas yang cukup simpel—loafers coklat, jeans hitam dan kemeja coklat gelap—tapi jelas terlihat berkelas.

𝐌𝐀𝐓𝐇𝐄𝐒𝐈𝐒, oda sakunosuke.Donde viven las historias. Descúbrelo ahora