Bab 5. Svargauri

346 56 23
                                    

           

Suara alat-alat di ruangan serba putih itu begitu memilukan. Beberapa pasien terdengar begitu berat bernapas dengan alat bantu di mulut dan hidung mereka. Beberapa lagi hanya diam, seolah terlalu lelap menikmati tidur nyenyak. Arimbi, gadis dua puluh tahun itu hampir tak kuasa menahan dirinya agar kuat melihat sosok yang paling ia cintai terbaring dengan baju putih berlist hijau di sana. Wajahnya bengkak di beberapa bagian. Tulang bahunya patah. Dan, ia tak sadarkan diri.

“Mas Arun.” Arimbi terisak sembari memanggil kakaknya, berharap Aruna akan bangun dan tersenyum padanya seperti yang selalu ia lakukan setiap kali Arimbi membangunkan dirinya di pagi hari.

“Mas, bangun!”

Gadis itu kembali mencoba memanggil Aruna. Namun, nihil. Usahanya tak berbuah sama sekali. Laki-laki di samping Arimbi, memeluknya. “Doain Mas ya, Dek,” ucap sang ayah. Arimbi masih belum bisa menerima kenyataan atas apa yang terjadi pada sang kakak. Ia, tadi baru sampai rumah saat Gauri menelponnya.

Rim, katanya Mas Arun dikeroyok orang di Supit Urang. Coba kamu cek bener enggak. Entah dikeroyok preman apa gimana aku nggak tahu. Sekarang dibawa ke rumah sakit, ke RSI.”

Saat itu juga Arimbi segera memberitahu sang ibu. Keduanya mencoba menghubungi ponsel Aruna dan seorang wanita yang menjawabnya. Dewi Banowati, mahasiswi Aruna yang menemani sang dosen sampai ke rumah sakit. Gadis cantik itu bahkan terus menangis dan tak mau pulang meski sudah dibujuk teman-temannya, hingga ia pun akhirnya dijemput oleh sang kakak.

Ketika Arimbi dan kedua orang tuanya tiba, Aruna sudah ditangani. Ia harus melalui serangkaian penanganan medis. Menurut kabar, pemuda itu sempat membuka mata, ia bahkan bisa diajak komunikasi untuk persetujuan operasi bahunya. Namun, setelah tindakan, ia justru tak lagi bangun. Kondisinya menurun dan kini ia terbaring lemah di ruang Intensive Care Unit sejak kemarin.

“Mohon maaf, waktu kunjungnya habis, Pak.” Seorang petugas medis memberitahukan pada Aris dan Arimbi. Dengan berat hati, Arispun memberi salam perpisahan pada sang putra kebanggaannya. “Mas, Papa keluar dulu ya. Papa, mama, sama adik di luar. Nungguin kamu. Kamu nggak usah takut, ya?” ucapnya sebelum mengecup puncak kepala Aruna yang sejak kemarin tak membuka mata.

Arimbi pun, ia mengecup pipi kakaknya yang lebam. “Mas, adek di luar. Nanti kalau Mas udah bangun Mas teriak ya, biar adek tahu kalau Mas udah bangun,” kata Arimbi bak anak kecil yang tengah berpesan pada kakaknya.

Tetesan air mata sang adik jatuh di pipi Aruna. “Mas, adek akan cari tahu, siapa yang nyelakain Mas. Dan, adek akan balas dendam buat Mas.”

Arimbi Lituhayu Sekarsanti, kini seolah berubah menjadi sosok jelmaan Dewi Arimbi, putri dari raja raksasa, Prabu Tremboko atau Raja Arimbaka, penguasa kerajaan Pringgodani. Alkisah, putri Arimbi pernah dirundung duka, akibat sang kakak Arimba diserang oleh seseorang hingga tewas. Kesedihan yang sama kini dirasakan oleh Arimbi Lituhayu, ada rasa tidak terima di hatinya atas hal yang menimpa sang kakak.

“Pa, aku mau ngusut kasus Mas Arun ini.”

Aris yang berjalan keluar ruangan sembari merangkul sang putri menggeleng. “Sudah, kamu nggak usah pikirkan itu. Om San, ayahnya Shaka sudah menawarkan diri untuk membantu papa mengusut kasus ini. Kamu tahu kan kolega Om San itu banyak. Kita fokus saja, doain Mas Arun biar cepet sembuh, ya?”

“Tapi, Pa, kenapa nggak kita lapor sendiri aja?” Arimbi ngeyel.

“Nggak usah kamu pikirkan. Papa yakin, pelakunya akan segera diringkus. Lagi pula, menurut orang yang jaga parkiran di tempat terakhir yang didatangi Mas Arun, sebelumnya Mas Arun terlihat melerai perkelahian di sana, mungkin Mas jadi korban salah sasaran dari geng yang mengira Masmu komplotan dari orang yang dia bela.”

SMARA CARITAOnde histórias criam vida. Descubra agora