Bab 32. Tembang Gambuh

305 43 2
                                    

Sepasang muda-mudi yang saling duduk berdampingan, menatap bumantara pagi itu.  Keduanya terdiam tanpa kata.

Si Pemuda enggan melempar kata karena tidak tahu harus memulai pembicaraan dari mana, setelah dua bulan tidak bersua. Sementara, si Pemudi, ragu melepas suara karena terlalu banyak hal yang ingin ia katakan,  setelah dua bulan tidak berjumpa. 

Jemari sang dara tertaut dan terlepas beberapa kali seolah menandakan ia tengah cemas.  Bibirnya benar-benar kelu, tidak bisa mengucap sesuatu.

Kegiatan itu terhenti tatkala tangan kekar sang pemuda meraih jemari lentik bidadarinya. Ia genggam sebelum ia singkirkan ke sisi lain dan dalam satu gerakan,  kini kepala sang pemuda sudah tergeletak di atas pangkuan sang dara. 

Netra berjeruji lentik milik Arimbi sontak membuka sedikit lebar,  menggambar keterkejutan. Sementara senyum sang pemuda membuat pipinya memerah karena malu. 

"Mas,  kok malah tiduran di sini," ucapnya. 

Bima menatap lurus pada sosok ayu yang kini kembali ke pelukannya tersebut. 

"Habisnya,  kamu malah nunduk terus. Jadi,  mending aku di sini,  biar bisa liat cantiknya bidadariku."

Gombalan Bima membuat Arimbi salah tingkah. 

"Ih,  lebay. Bidadari-bidadari. Bidadari yang kamu jadiin pelarian?"

Kening Bima mengkerut. "Pelarian? Pelarian apa?"

"Halah ngaku aja. Aku udah tahu kok. Mas pernah kan cinta banget sama cewek pas SMA tapi sebelah tangan doang. Shaka yang cerita. Dan aku cuman jadi pelarianmu."

Wajah Bima yang tadi serius kini berubah menjadi geli.  Tawa terdengar keras. 

"Ih,  malah ketawa." Arimbi kesal.

"Kamu itu lucu. Masih aja percaya sama omongan Shaka." Satu cubitan di hidung didaratkan oleh Bima.

"Tapi bener sih. Cinta pertamaku dulu pas SMA dan Shaka jujur kalau soal ini.  Bukannya kemarin aku udah cerita ya?"

Arimbi mengerucutkan bibir. "Tuh kan. Bener kan? Ah nyebelin, sana minggir!"

Gadis itu mendorong kepala Bima agar menjauh dari pangkuannya.  Ia bahkan nekat berdiri,  membuat kepala pemuda itu terantuk paving yang ia duduki tadi. 

"Aw!  Sayang! Ini aku masih babak belur loh yang kemarin belum sembuh,  kenapa ditambah disiksa lagi?" protes Bima. 

Arimbi sebenarnya merasa kasihan, tetapi dia masih saja kesal dengan penuturan Bima tadi.

Keduanya kini tengah berada di taman sekitar GOR dekat rumah Arimbi.

"Aku mau pulang aja! Mau nyusulin Kak Dew sama kembar dulu,"tukas Arimbi. 

Bima segera berdiri dan melangkah cepat, meraih tangan gadisnya. 

"Sayang,  dengerin dulu. Ya Allah,  kenapa sih aku harus jatuh cinta sama cewek keras kepala dan cemburuan plus manja ini," ucap Bima penuh kepasrahan. 

Arimbi mendongak. "Yang nyuruh Mas suka sama aku juga siapa?" ketusnya. 

"Dengerin dulu! Kalau kamu mau tahu siapa cewek yang aku suka. Dengerin dulu diem dan jangan marah-marah."

Arimbi akhirnya berdiri di tempat karena Bima menghimpitnya dengan tembok pembatas taman.

"Dia adik kelasku. Cewek tinggi yang dikuncir dua dengan pipi chubby. Cewek baik yang menyelipkan uang cukup besar di saku tukang sapu di depan sekolah setiap hari. Cewek yang selalu ramah pada siapapun meski beberapa orang sering menggunjingnya karena postur tubuhnya yang terlihat mencolok di atas rata-rata cewek-cewek lainnya. Cewek cantik dengan dua sahabat kembarnya yang kemana-mana selalu bertiga. Salah satunya sekarang jadi calon kakak iparku dan satu lagi jadi calon istri sahabatku."

Arimbi menatap Bima lekat. "Bohong kan?" selidiknya saat sadar jika yang dimaksud Bima adalah dirinya. 

Bima menggeleng. "Tapi aku jatuh cinta sama cewek ini bukan pas kami ketemu di sekolah. Aku jatuh cinta sama dia waktu kami pertama kalinya ketemu di tempat yang tidak terduga."

"Hm?  Di mana?"

Bima tersenyum. "Makam ayah. Waktu itu kamu datang melayat. Ketika yang lain mencoba menegarkanku,  melarangku menangis, kamu datang dan mengatakan kalau tidak apa-apa laki-laki menangis."

Ingatan Arimbi berputar ke masa lalu. 

"Mas, nangis aja. Wajar kok manusia nangis.  Nggak kecil,  nggak besar,  nggak tua,  nggak muda,  cewek atau cowok, semua kan punya perasaan. Nangis aja. Biar lega.  Tapi jangan lupa bangkit setelahnya. Kalau kata Eyangku, kematian itu hanya fase pemisah antara yang berraga dan yang tidak. Tapi ruhnya masih akan tetap ada. Mas bisa tetap kirim doa untuk papanya, Mas."

"Aku nggak mau nangis. Laki-laki nggak boleh nangis. Kata kakakku."

"Ih,  Mas,  nangis aja udah.  Itu kakaknya Mas juga pasti nangis kok. Cuma Mas aja yang nggak tahu. Tenang aja,  kalau Mas takut karena nangis Mas jadi nggak laku,  nanti aku yang bakal mungut Mas jadi suamiku. Tenang. Inget namaku.  Arimbi Lituhayu. Hubungi aku kalau Mas nggak laku."

Keceriaan yang selalu Arimbi tularkan pada orang sekitarnya membuat Bima yang kala itu berduka kembali tersenyum mendengar celotehannya. 

"Kamu harus tanggung jawab, Dek.  Aku dulu nangis setelah kamu nyuruh aku nangis.  Dan sampai sekarang belum punya pasangan.  Jadi,  kamu harus nepatin janjimu. Kamu udah bikin aku jatuh cinta dengan senyumanmu. Takdir mempertemukan kita lagi di SMA. Setelah lulus pun aku ditakdir menjadi mahasiswa kakakmu,  dan sekarang kita yang terpisah kembali bersatu. Aku capek dengan lika-liku pisah ketemu ini. So, please,  apa kali ini kamu mau serius sama aku? Aku selesaiin dulu kontrakku kamu selesaikan kuliahmu.  Tapi,  kita resmikan dulu.  Aku mau mengikatmu dulu, dengan ini."

Bima merogoh sakunya. Arimbi menatap benda itu dan Bima bergantian. 

"Aku tahu epos Mahabaratha lebih masyur, tapi kisah Bima dan Arimbi kita ini, lebih indah. Karena aku, Bimasena di dunia nyata, hanya mempersunting satu gadis untuk selamanya. Tak berulang kali, seperti yang dilakukan oleh Bimasena, dalam kisah Pandhawa. Dan gadis itu, adalah kamu,  Arimbi Lituhayu Sekarsanti."

Gadis itu berusaha untuk mengendalikan dirinya agar tidak terlalu hanyut dalam perasaan yang tidak dapat ia ungkapkan dengan kata-kata itu. 

"Kamu mau kan nerima ini?" Bima memastikan.

Arimbi tersenyum.

"Seperti yang kita tahu,  tembang macapat, menceritakan tentang perjalanan hidup manusia dari lahir hingga mati. Dan tanpa aku sadari, kamu sudah ada di dalam hidupku sejak fase, Mijil,lahir, hingga kini kita berada di fase Asmarandana. Apa boleh, aku memintamu tetap menemaniku hingga kelak fase terakhir dalam hidupku? Hanya aku dan kamu. Kalau kamu sanggup berjanji setia maka aku akan menjawab 'iya'."

Bima terkekeh. "Tentu. Lagian siapa yang mau sama raksasa ini kalau bukan si Raksasi cantik pemikat hati," candanya. 

Arimbi membiarkan Bima menyematkan cincin di jari manisnya.

"Janji ya jangan kayak Raden Bima yang nikah berkali-kali."

Bima terbahak sebelum mendekap gadis yang paling ia cintai. "Aku janji."

Arimbi tersipu saat Bima menyentuh pipinya dan mendaratkan kecupan di dahi. 

"Cut!  Cut! Mohon maaf, Bapak, Ibu,  set-nya pindah dulu ya.  Di sini udah mulai panas. Pencahayaannya udah nggak bagus."

Arjuna,  lagi-lagi menjadi perusak suasana. 

"Adek!" protes Arimbi dan Bima. Arjuna hanya meringis sebelum berlari menyelamatkan diri dari kejaran dua orang yang diganggunya.

ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ

Assalamualaikum

Hai semuaaa

1 lagi yaaa

❤❤❤❤

SMARA CARITAWhere stories live. Discover now