Bab 27. Mendung Tanpo Udan

194 30 4
                                    


 

Isak tangis terdengar dari bibir gadis yang kini tengah ditemani oleh calon ipar dan kakaknya. Tangan Dewi tidak henti mengelus punggung Arimbi. Ia sejatinya tidak paham apa yang terjadi karena saat ia datang, keributan itu telah usai. Hanya menyisakan suasana tidak enak di rumah yang biasanya penuh kehangatan itu.

“Kenapa sih?” bisik Dewi pada calon suaminya.

Aruna menghembus napas kasar. “Papa nentang hubungan adek sama Bima. Cuma gara-gara papa tetep pengen besanan sama sahabatnya, Om Santoso.”

“Maksudnya gimana?” Dewi masih belum paham.

“Intinya dulu itu adek pernah dikasih tahu kalau papa pengen jodohin dia sama anak sahabat papa. Tapi, waktu itu kan adek masih belum pacaran sama Bima. Nah, sekarang adek udah punya pilihan sendiri, eh tapi papa tetep maksa adek buat nerima calon dari papa. Mana papa pakai nampar adek pula. Dan papa ngusir Bima.”

Dewi kini mulai paham. Ia terus menenangkan Arimbi yang tidak berhenti menangis.

Penyesalan hebat kini terasa di benak Arimbi. Ia memang merencanakan perpisahan dengan Bima, tetapi bukan dengan skenario seperti ini. Semua ini di luar rencananya.

Rasanya begitu sakit melihat Bima harus melangkah pergi karena diusir sang ayah. Terlebih tatapan penuh cinta Bima yang berselimut kepedihan masih lekat diingat Arimbi.

“Kak, aku nggak mau putus sama Mas Bima. Aku nggak mau putus sama Mas Bima,” isak Arimbi.

Luruh sudah semua dendam dan sakit hati Arimbi. Kini, justru ia merasakan jika rasa takut kehilangan pemuda gagah dengan suara berat khas yang selalu menemani hari-harinya dua bulan terakhir, menguasai pikiran.

“Aku mau ketemu Mas Bima,” ucapnya lagi di sela tangis.

“Ssst, cup cup. Tenang dulu. Bima udah sampai Purworejo sama Aga. Dianterin sama Mas Yudhis, Juna, dan Bude Ratu.”

Mendengar hal itu tangis Arimbi semakin pecah. Aruna begitu sedih melihat adiknya yang tidak henti menangis.

Namun, di sisi lain, sejatinya Aruna tengah mencoba mengingta sesuatu. Hari ini, pertama kalinya ia melihat Shaka meski hanya sekilas. Rasa-rasanya, ia tidak asing dengan sosok itu.

Tadi, setelah kejadian tidak terduga yang membuat kedua orang tuanya bertengkar dan sang adik menangis, Aruna mempersilakan Shaka untuk pulang.

Kenapa kayaknya nggak asing ya? Apa kami pernah ketemu sebelumnya? Aku kok familier sama dia? batin Aruna.

Lamunan dosen muda yang mulai aktif mengajar kembali pasca cuti darurat selama satu setengah bulan pasca tragedi yang menimpanya itu seketika buyar saat Dewi menyenggolnya.

“Mas, adek bobok tuh. Ng ... kamu mikir apa? Kok ngelamun.”

Aruna menggeser sedikit tubuhnya, meraih sebuah cangkir berisi susu coklat yang tadi ia buat. Disodorkannya cangkir itu pada Dewi.

“Aku baru nginget-inget. Kayaknya aku pernah liat bocah yang mau dijodohin sama adek itu deh. Tapi dimana ya? Ingatanku soal kayak gini tuh pendek-pendek banget. Susah banget mau nginget.”

Dewi tersenyum. “Space memori otakmu kebanyakan keisi ilmu ekonomi sih, Pak Dosen.”

Aruna menaikkan satu alis. “Nggak juga. Ada hal lain yang mengisi otakku sampai hal-hal lain rasanya nggak penting.”

“Apa?” Gadis itu menatap lekat calon suaminya.

“Kamu. Every single things about you.

“Dih, gombal. Adikmu lagi sedih tuh, kakaknya malah bucin,” sahut Dewi menyembunyikan tersipunya.

SMARA CARITADonde viven las historias. Descúbrelo ahora