Bab 8. Penuh Intrik

255 42 18
                                    

Lorong rumah sakit yang sepi, disusuri oleh dua muda-mudi. Baru kali ini, Bima tak perlu menunduk untuk sekedar menatap wajah lawan bicaranya. Arimbi hampir setinggi lehernya membuat komunikasi keduanya nyaman. Biasanya, gadis-gadis di sekitar Bima hanya setinggi dada saja. Tingginya yang mencapai seratus delapan puluh enam senti membuatnya selalu menonjol di antara teman-temannya yang lain. Itulah kenapa ia nyaman berteman dengan Svarga yang memiliki tinggi seratus delapan puluh sentimeter, setidaknya Bima merasa lebih percaya diri karena terlihat normal di samping Svarga.

“Oalah, itu dia, pamitnya udah dari tadi kok malah baru dateng.” Ratu yang melihat sang putra kedua muncul, berkata. Beberapa pasang mata di sana sontak menoleh ke arah yang sama. Dua tiang berjajar berjalan ke arah ruang tunggu khusus pasien ICU dan HCU.

“Eh, Bude sama Eyang ke sini juga. Tadi, Mas Bima anter Arim ke rumah dulu ambil jaket sama baju ganti.”

“Sampai sejam perginya?” Celetukan Arjuna, anak muda yang ternyata juga ikut dalam rombongan membuat Arimbi dan Bima kembali jadi sasaran tatap para tetua.

“Tadi ... mampir beli es dulu,” jujur Bima.

Ayah Arimbi tersenyum. “Makasih ya, Mas Bima, sudah nganter adek ke sini. Mas Bima mau masuk ke dalam nggak? Masih ada waktu tujuh menitan. Dek, kamu mau ketemu Mas nggak?”

Arimbi dan Bima mengangguk, keduanya tak mau melewatkan kesempatan itu. Bima mengekor Arimbi. Keduanya mengenakan baju pelapis khusus berwarna hijau di ruang steril sebelum masuk ke ruangan yang membuat Arimbi ngeri itu.

Aruna, masih tertidur lelap di sana. Lebamnya mulai hilang, meski di beberapa tempat masih biru. Hidung mancungnya tertutup masker oksigen. Suara alat-alat yang tersambung dengan kabel di tubuh sang dosen muda itu terdengar memilukan. “Mas, adek ke sini sama Mas Bima. Tadi, Mas Bima jajanin adek es dawet loh. Enak banget. Mas cepet bangun ya, biar nanti adek bisa jajanin Mas es di sana. Adek yang traktir.”

Suara Arimbi mula-mula renyah, perlahan tubuhnya bergetar. Bima menyadarinya. Ragu, tangan itu terulur. Sangat kaku, Bima menyentuh bahu Arimbi, berusaha menunjukkan empati sembari menenangkannya.

Arimbi bodoh! Kenapa lu malah nangis di depan Bima. Lu nggak boleh lemah. Si Bima brengsek itu pasti ngetawain lu dalam hati. Cengeng banget lu, Arimbi, batin sang gadis merutuki dirinya.

Bima menyentuh tangan dingin Aruna. Terbersit ucapan di pertemuan terakhirnya bersama dosen pembimbing skripsinya itu. “Bim, aku titip adikku ya. Jaga dia.”

Ada sedikit rasa mengusik relung jiwanya. Mungkinkah ini yang dimaksud Aruna? Ia tahu jika dirinya akan tetidur cukup lama sehingga tak bisa lagi menemani adik kesayangannya menjalani hari. Apakah benar, Aruna mempercayakan Arimbi padanya? Apa yang harus dirinya lakukan setelah ini. Ribuan tanya muncul di benak Bima.

Suara langkah kaki perawat terdengar beberapa saat kemudian. Arimbi sudah hapal jika perawat itu akan memberitahukan jika jam besuknya habis. “Mas, aku keluar dulu ya. Cepet bangun, Mas. Biar bisa nganterin aku kuliah lagi, nemenin aku ngerjain tugas, jalan-jalan. Aku kesepian, Mas,” ucap Arimbi sebelum mengecup kening sang kakak.

Bima dapat merasakan kepedihan yang dirasakan Arimbi. Ia pun pernah berada di posisi Arimbi ketika sang ibu mengalami koma selama sebulan pasca kecelakaan dengan almarhum ayahnya.

Arimbi berjalan lebih dulu, keluar dari bilik berbatas tirai itu. Sementara, Bima masih berdiri menggumamkan doa. Di akhir doanya, Arimbi yang tak langsung menjauh pasca keluar dari bilik sang kakak, mendengar Bima mengucap sebuah kalimat. “Mas, aku akan lakukan apa yang kamu amanahkan kemarin. Aku akan jagain Arimbi, mengambil alih tugasmu selama kamu masih mau istirahat di sini.”

SMARA CARITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang