Bab 12. Tembang Sinom

258 40 12
                                    


 

Tiga sosok ayu yang mendadak rajin datang ke Griyo Prawiranatan itu, tengah sibuk membantu  empunya rumah mengepak kain-kain batik pesanan dari salah satu pelanggan.

“Banyak banget, Nduk. Ini seragam kantor apa sekolah?” tanya Eyang Kusuma pada menantunya.

“Ini seragam partai, Eyang. Eh, ndak tau sih, intinya ini buat kepentingan coblosan besok itu loh.”

Pria sepuh itu mengangguk-anggukkan kepala. Ia baru saja selesai memberi makan ayam jago kesayangannya, kini duduk di kursi jati yang menjadi tempat favorit jika tengah lenggah santai di pendopo rumah. Netranya tertuju pada sebuah buku di atas meja. Sebuah buku dengan aksara jawa di halaman muka bertulis ‘Serat Kalatida’, karangan Raden Ngabehi Ronggowarsito.

“Punyamu, Nduk?” tanya Eyang Kusuma pada Arimbi yang sedang mengikat kain-kain yang sudah dilipat oleh beberapa pekerja Ratu.

Nggih, Eyang. Serat Kalatida.”

“Wah, cocok iki. Coba nembango.”

“Eyang ini, loh. Arim kan baru bantu-bantu, mosok disuruh nembang,” tegur Ratu sembari mengecek daftar barang yang siap di-packing.

Ndak apa-apa, Bude. Nembang sinom nggih Mbah?” tanya Arimbi.

Pria itu mengangguk. Arimbi segera melantunkan bait-bait tembangnya. “Amenangi jaman edan. Ewuh aya ing pambudi. Melu edan nora tahan. Yen tan melu angklakoni. Boya  keduman melik. Kaliren wekasannipun. Dilalah kersa Allah. Begja-begjane kang lali. Luwih begja kang eling lawan waspodo.”

Gantari yang duduk di bawah Arimbi sembari memasukkan kain yang sudah ditali ke dalam karung, menginterupsi. “Artinya!”

Beberapa pegawai yang membantu ikut kepo, ingin tahu makna tembang yang dilantunkan Arimbi.    

Eyang Kusuma menyenggol sang cucu yang  duduk di dekat kakinya. Bima mendongak, ia paham jika sang Eyang tengah mengetesnya.

"Artinya, amenangi jaman edan, ewuh aya ing pambudi. Hidup di jaman edan, memang repot. Melu edan nora tahan, yen tan angklakoni boya keduman melik. Mau mengikuti arus tidak sampai hati, tetapi kalau tidak mengikuti geraknya jaman tidak mendapat apapun juga.  Kaliren wekasanipun. Akhirnya dapat menderita kelaparan. Dilalah kersa Allah, namun sudah menjadi kehendak Tuhan. Begja-begjane kang lali, luwih begja kang eling lan waspodo. Bagaimanapun juga walaupun orang yang lupa itu bahagia namun masih lebih bahagia lagi orang yang senantiasa ingat dan waspada."

Eyang Kusuma mengangguk-angguk. Ia mengacak rambut sang cucu. Di antara ketiga cucunya, Bima memang yang menuruni dirinya. Sejak kecil ia sudah diajak sang kakek ndalang. Setiap tim wayang kulit sang kakek mendapat undangan tanggapan, Bima kecil akan duduk manis di samping sang kakek yang menjadi dalang.

"Aku nggak paham, Eyang," jujur Gauri.

Pria sepuh itu terkekeh, ia menunjukkan buku milik Arimbi tentang 'Serat Kalatidha' tadi.

"Di dalam sini ada banyak petuah tentang Kalatidha atau jaman keraguan. Jaman penuh keraguan. Jaman dimana banyak orang mulai gila jabatan, menjilat sana sini demi mendapat kursi. Melobi sana sini berdalih mencari rejeki, menghalalkan korupsi, kolusi, dan nepotisme demi memenuhi pundi-pundi pribadi."

Seruputan teh hangat, menyela petuah Eyang Kusuma. Setelah segar menyentuh kerongkongan, beliau kembali melanjutkan  cerita.

"Jaman sekarang, jaman orang gila jabatan. Yang namanya gila, ya artinya nggak berpikir salah benar dalam tindakannya mencapai jabatan yang ia inginkan. Ini contohnya. Mau nyalon walikota. Dia keluarkan uang ratusan juta. Demi meraih simpati massa. Merasa jika sudah dapat menguasai banyak massa pendukungnya dengan harta. Berpikir kalau mereka cerdik dengan menarik hati lewat uang komisi. Padahal, merekalah sesungguhnya yang tengah diperdaya oleh massa yang ia harap akan menyumbang satu suara untuknya."

SMARA CARITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang