Bab 17. Hijrah

219 38 13
                                    

Gadis cantik yang biasanya menggerai rikma legamnya, kini datang dengan tampilan berbeda. Jilbab menghias kepala dengan gamis senada menutup sempurna auratnya.

"Kak Dew?"

Arimbi terkejut mendapati tampilan baru gadis yang selalu mengunjungi kakaknya setiap hari itu.

"Assalamualaikum," sapanya.

Semua menjawab beriring senyum. Dewi Banowati, gadis yang sudah mantap untuk berhijrah itu datang membawa beberapa makanan untuk para penunggu Aruna.

"Cantiknya,"puji Arimbi sembari memeluk mantan mahasiswi sang kakak.

"Duh, adek bisa aja. Mm ... Udah boleh masuk belum sih?"

"Masuk aja, Kak. Hari ini bebas katanya sampai jam sembilan."

"Bener? Om, Dewi masuk dulu ya?" Gadis itu meminta ijin.

Ayah Arimbi menganggukinya sebelum menyodorkan penganan yang dibawakan Dewi kepada Bima yang duduk di samping kirinya.

Langkah ringan sang gadis membawanya menuju ke pembaringan Aruna yang sudah sebulan nyenyak terlelap.

"Assalamualaikum, Mas."

Dewi mengambil benda kecil yang berada di samping kepala Aruna. Menggantikannya dengan benda serupa berwarna lain.

"Udah habis batreinya ya?" Monolognya, seolah mengajak bicara Aruna.

"Mas di sini malah jadi ngaji terus ya, nggak bosen kan? Besok kalau aku udah boyongan ke Solo, aku titip mp3 player ini ke Dek Arim. Biar bisa muterin ini buat Mas terus. Biar Mas nyenyak boboknya."

Dewi membenahi selimut Aruna. Ia menatap laki-laki yang begitu ia kagumi.

"Mas, besok lusa aku berangkat. Doain aku ya, semoga betah di sana. Aku harus bisa mandiri. Makasih udah kasih tahu lowongan itu ke aku. Dan, kalau aku udah bisa nabung, aku mau lanjut sekolah lagi."

Hidung mancung itu tak lagi di tutup masker oksigen, hanya selang saja yang membantu pernapasannya. Tubuh berisi milik Aruna kini terlihat kurus. Wajahnya yang dulu berpipi chubby, kini tirus.

"Mas nggak kangen sama papa, mama, dan Dek Arim?" tanya Dewi tanpa melepas tatap.

Air mata kembali menetes di pipinya.

"Aku ... aku minta maaf Mas, selama ini aku kurang ajar, nggak tahu diri, nggak punya malu. Terang-terangan bilang sayang ke kamu. Maaf. Nggak sepantasnya seorang wanita seperti itu. Seperti yang selalu kamu bilang saat mengingatkanku. Dan, aku sadar. Aku akan menyimpan semua ini dalam diam. Insyaallah, aku bener-bener niat untuk hijrah. Aku tutup semua masa laluku yang suram. Aku ... Ingin jadi muslimah yang baik."

Dewi bersimpuh di lantai dengan kepala ia letakkan di atas ranjang Aruna. Ia menangis sejadi-jadinya.

"Aku tahu aku hina tapi aku yakin Allah akan memberiku kesempatan untuk kembali pada-Nya. Maaf sudah mengumbar rasa yang tak seharusnya. Maaf. Aku minta maaf tidak bisa menahan diri, menjaga harga diri sebagai seorang wanita sejati."

Dewi menumpahkan segala rasa yang bergejolak di hatinya. Hidupnya mulai kembali berwarna semenjak ia bertemu Aruna yang selalu membimbingnya meski dengan gaya galak khas.

"Aku selalu merindukan kasih sayang ayah. Sejak ibu meninggal dan ayah menikah lagi, aku benar-benar kehilangan sosok pengayom. Dan ... Aku menemukannya kembali empat tahun ini. Dari kamu. Aku ... Aku merasa diperhatikan, disayang meski selalu mendapat teguran dan wejangan. Aku sengaja bikin gara-gara biar ditegur dan di-notice sama kamu, Mas. Maafin kekonyolanku ya."

SMARA CARITADonde viven las historias. Descúbrelo ahora