Bab 9. Batik

308 44 16
                                    

Subuh baru pergi beberapa waktu lalu. Sosok dengan blouse putih dipadu rok bermotif truntum, datang membawa sebuah termos berisi wedang jahe dan satu box makanan. Hampir setiap hari, sejak Aruna berada di ICU, gadis itu selalu datang.

“Nak Dewi.” Pratiwi menyapa gadis ayu bertubuh mungil yang masih pantas jika dipakaikan seragam SMP tersebut.

“Selamat pagi, Tante, Om, Adek!”

Ceria dan baik hati. Dua kata yang dipakai Arimbi untuk menggambarkan sosok Dewi Banowati, mahasiswi Aruna yang Arimbi tahu tengah menaruh hati pada kakaknya.

“Tante, hari ini Dewi bawa nasi liwet. Katanya Om sama Tante suka ya, nasi liwet? Ada onde-onde juga buat Adek.”

Kedua orang tua Arimbi tersenyum. “Nak Dewi, kenapa tiap hari malah repot-repot bawain makanan buat kami?”

Dewi menggeleng. “Mboten repot kok, Om. Sekalian masakin mbah putri.”

Dengan cekatan, Dewi mengeluarkan makanan yang ia bawa. Tak lupa ia juga menuangkan minuman ke gelas-gelas melamin yang ia bawa dari rumah.

“Mm ... Tante, Om, Dewi boleh nengok Mas Arun sekarang?” tanyanya malu-malu bersamaan dengan dibukanya pintu ruang transisi ICU.

Anggukan dua orang tua Aruna membuat sang gadis tersenyum senang. “Adek mau ikut apa makan dulu?”

Arimbi yang asik bertukar pesan di gawainya sebari menyomot onde-onde menggeleng. “Nanti aja, Kak. Mau abisin ini dulu.” Cengiran khas Arimbi dibalas cubitan gemas oleh Dewi, sebelum ia masuk ke dalam ruang rawat.

Gadis ceria itu perlahan masuk, mengenakan baju steril dan melangkah ke dalam ruang rawat Aruna. Kakinya sudah hapal rute tujuannya. Sosok itu masih sama, terbaring dalam tidur lelap. “Assalamualaikum, Mas Dosen.”

Senyum ceria Dewi seketika tenggelam. Ia, berlutut di samping ranjang sang laki-laki. “Aku udah daftar yudisium, Mas. Bulan depan aku wisuda.”

Dewi ragu menyentuh jari tangan Aruna yang dingin, tetapi bisikan hati membuatnya ingin melakukannya. “Mas, besok pas wisuda, ayahku nggak datang. Istrinya nggak kasih ijin katanya. Jadi, aku wisuda sendiri. Mas, bangun dong. Biar aku bisa maksa Mas Arun buat nemenin aku wisuda. Aku mau kita foto berdua terus aku pamerin ke makam ibu.”

Air mata kembali mengalir, gadis itu menggenggam jemari kiri Aruna. Ia menyandarkan kepala di sana. “Mas, kenapa kemarin kamu nggak ngelepasin aku aja? Biar aku yang kena pukul. Biar aku yang mati. Seenggaknya, aku bisa nyusul ibu. Aku nggak perlu lontang-lantung sendirian. Kalau aku mati, nggak akan ada orang yang nangisi, paling cuman mbah putri. Kalau kamu yang sakit, semua orang khawatirin dan nangisin kamu.” Gadis itu semakin sesegukan. Ia menumpahkan segala curahan hati setiap hari pada Aruna. Tak peduli laki-laki itu bisa mendengarnya atau tidak.

Suara langkah kaki yang mendekat membuat Dewi segera menghapus air matanya dan melepaskan tangan Aruna. Lima menit saja, ia menjumpai laki-laki pujaannya, tetapi cukup baginya untuk melepas rindu.

Dewi terkejut ketika jemari lentik wanita yang baru masuk itu menyentuh puncak kepalanya. “Tante, sampun dhahar-nya? Maaf ya Tante, rasanya ngalor-ngidul.” Sebuah kekehan lolos dari gadis yang berusaha kembali ceria itu.

Pratiwi menatap gadis bermata sembab  di hadapannya sebelum menautkan jemari mereka. “Mas, cepet bangun. Ada cewek cantik ini loh, tiap hari datang. Pagi, sore, selalu bawa makanan enak. Kamu nggak kasian apa sama dia, tiap hari nangisin kamu, Mas? Bangun ya, Le?”

Pada awalnya, Pratiwi tegar, tetapi sama saja, ia juga menangis di akhir. Andai boleh memilih, ia ingin bertukar posisi dengan putranya. Biarlah dia yang berada di sana, bukan sang putra kebanggaannya. Si anak baik yang tak pernah sekalipun merepotkannya. Sejak kecil, Aruna adalah anak yang mandiri. Ia tak pernah rewel, jarang menangis, selalu menonjol di bidang akademis. Cita-citanya dulu ingin menjadi pebisnis seperti kakeknya. Namun, pada akhirnya ia malah meneruskan profesi sang nenek menjadi seorang tenaga pendidik dan pengajar, meski dengan jurusan yang digeluti kakeknya.

SMARA CARITAWhere stories live. Discover now