Bab 7. Dawet Ayu

298 50 31
                                    

Waktu menginjak sore, tiga sahabat yang sedari tadi sibuk dengan tugas tentang batik, kini berpamitan pulang pada si empunya rumah.

“Rim, bareng aku aja yuk?” Gantari menawari sahabatnya.

“Aku nggak bawa helm, aku ke sini pakai ojol. Nanti kalau ketilang di depan situ, malah berabe.”

“Terus kamu mau ngojek lagi?”

“Iya, mau ke rumah sakit sekalian.”

Gadis berperawakan tinggi itu melambaikan tangan pada si kembar dan Svarga yang melajukan motor melewatinya. Ia baru akan menggunakan aplikasi ojek daringnya saat sebuah motor berhenti di sampingnya.

Sebuah helm terulur. “Ayo naik.”

Arimbi bak orang bodoh, aku malah melongo.

“Ayo, kamu mau ke rumah sakit, kan? Aku mau jenguk Mas Arun.”

“Tapi ... aku ... aku mau mampir rumah dulu, Mas ambil jaket.”

“Aku anterin, ayo naik.”

Motor 150cc berwarna merah milik si pemuda sudah siap mengantarkan dua muda-mudi itu pergi. Bima baru akan menawarkan tangannya untuk menolong Arimbi naik. Namun, Arimbi menolak. “Kakiku cukup panjang buat naik sendiri, Mas. Nggak kayak cewek-cewekmu yang normal-normal itu.”

Jawaban Arimbi menyebut 'cewek-cewek normal' malah membuat Bima tergelitik. Pemuda itu tak kuasa menahan tawa. Arimbi pun terkejut karena baru pertama kali ia melihat Bima tertawa sejak sekian lama saling kenal.

“Ih, Mas ketawa? Receh banget. Gitu doang ketawa.”

Bima juga tidak tahu kenapa dia bisa tertawa hanya karena hal sepele. Biasanya, wanita-wanita yang memboncengnya akan selalu mengeluh kesulitan untuk melangkah naik ke atas si Abrit, motor sport kesayangannya itu.

“Baguslah kalau kamu bisa naik sendiri. Manusia mini yang biasanya numpang aku, sering marah dan nyumpah serapahin motorku gara-gara ketinggian.”

Arimbi terkekeh. “Udah yuk, jalan. Masih inget rumahku nggak?”

“Masih. Aku kan sering lewat kalau main di Mandala Krida.”

Sang gadis mengangguk-angguk. “Oh, sering main di sana? Kok nggak mampir?” Arimbi mulai melancarkan siasatnya. Ia, harus menaklukkan Bima, menjerat, dan memikatnya dalam buaian asmara khas anak muda. Di sepanjang jalan, Arimbi mengajak Bima terus berbicara meski awalnya sulit dan beberapa kali zonk karena si pemuda diam saja tak merespon. Entah karena malu, bingung, atau justru terganggu dengan kecerewetan Arimbi. Yang pasti, Arimbi tak patah semangat untuk mencari celah agar dapat mendobrak hati Bima.

“Mas, haus nggak?”tanya Arimbi. Bima tak langsung menjawab. Ia melihat ke arah depan, ada deretan ruko yang menjajakan aneka street food dan minuman yang tengah digandrungi anak muda.

“Boba apa milkshake?” Bima balik bertanya.

“Duh, peka banget ih. Husband-able banget sih. Aku mau dawet aja, itu dawet Banjarnegara. Boba dengan kearifan lokal.”

Lagi-lagi Bima tertawa. Arimbi seolah mendapat angin surga. Ia dapat mencairkan Bima yang kaku dan dingin, dua kali hari ini. Namun, Arimbi merasa jika perubahan sikap Bima bisa jadi didasari karena rasa bersalahnya pada Aruna. Dia pasti takut jika Arimbi dan keluarganya akan mengusut kasus itu dan menyeretnya ke balik jeruji besi.

Tenang, Mas. Belum saatnya kamu menemui puncak karmamu. Aku akan menghancurkan hatimu dulu sebelum menyeretmu ke penjara, batin Arimbi. Bima yang baru menyusul pasca memarkirkan motornya, tak sengaja menatap gadis yang datang bersamanya tadi. Arimbi melambaikan tangan menyuruh Bima cepat duduk di sampingnya. Jarak antara tempat turunnya Arimbi dengan parkiran motor Bima sedikit jauh. Itulah kenapa Arimbi berinisiatif untuk turun dulu dan memesan dawet, agar tak lama antri.

SMARA CARITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang