Bab 6. Tembang Durma

337 48 21
                                    


Sebuah pesan singkat masuk di gawai Arimbi. Gadis berpostur tinggi dengan badan ramping tersebut tanpa sadar mengepalkan tangan. Ia menyalurkan kekesalan dalam dirinya.

Awas aja kamu, Bimasena. Dulu kau udah ngerusak masa SMA-ku, dan sekarang kamu nyelakain kakakku. Tunggu nanti, aku bakal ngerusak hidupmu dan bikin kamu nyesel udah berurusan denganku, batin Arimbi.

Bukan tanpa sebab, Arimbi begitu benci pada Bima. Ia melalui tiga tahun masa SMA dengan penuh ejekan, karena Bima. Meski, keduanya hanya bersua di dua tahun pertama Arimbi, tetapi meski Bima sudah lulus, di tahun ke tiga tetap saja sebutan ‘Si Raksasa Tak Tahu Malu’ telah tersemat pada Arimbi.

Dara cantik yang tengah duduk di kursi tunggu lorong rumah sakit itu terlihat berpikir. Bagaimana caranya ia bisa membalas dendam pada Bima. Ia sadar, kekuatan fisiknya tak mampu melawan kokohnya tubuh Bima. Adakah cara lain yang bisa ia lakukan?

Kala sang dara tengah berpikir keras, ada pengunjung rumah sakit yang melewatinya sembari berbincang. “Lha yo to, Itu anaknya Bu RT kena karma. Tapi memang ngeri, kalau dibalesnya bukan pakai serangan fisik, tapi serangan hati. Sakitnya lebih lama sembuhnya. Sampai kayak gitu ya? Gila ditinggal cewek yang dulu dia permainkan.”

Arimbi menatap empat orang pembesuk yang melewatinya. Seulas senyum muncul dengan sendirinya. Aku punya ide, batin sang dara.

Tangan dingin dari sosok di samping Arimbi membuatnya tersentak. “Dek, kamu pulang dulu sana. Di sini sudah ada papa, eyang, sama om. Sudah tiga hari loh kamu di sini nggak mau pulang. Nanti pulang kerja, mama juga papa suruh pulang ke rumah dulu. Kalau kita nggak jaga kondisi, semua bisa sakit malahan.”

Bujukan sang ayah membuat Arimbi luluh. Masih banyak tugas yang harus ia kerjakan. Namun, ada misi yang lebih penting yang harus ia lakukan. Misi untuk membalas dendam pada Bima yang sudah membuat kakaknya koma. Gadis itu pulang menggunakan ojek online yang dipesankan sang ayah.

Mas Bima, aku bakal masuk ke kehidupanmu, membawamu terbang ke angkasa, dan di saat kamu berada di genggamanku, aku akan menjatuhkanmu sekeras mungkin. Agar kamu hancur dan menyesal berurusan denganku.

           

****

Griyo Prawiraningrat terlihat ramai siang itu. Ada si kembar dan Svarga kembali bertamu di sana untuk mengerjakan tugas yang belum selesai kemarin. Ada Bima dan sang kakek yang ikut menyambut para tamu. Kakek Bima sedari tadi bercengkrama dengan Gantari. “Kamu pinter juga ternyata, paham soal gamelan. Anak muda jaman sekarang, jarang yang mau belajar karawitan.”

Gantari tersenyum. “Justru itu, Eyang, saya suka yang anti mainstream. Ya mau dibilang kuno, nyentrik, atau apa, saya malah bangga. Toh, kalau bukan kita yang melestarikan, siapa lagi? Nunggu dilkaim negara tetangga dulu? Baru pada mau mengakui gamelan itu punya Indonesia! Begitu?”

Eyang Kusuma terkekeh-kekeh, beliau sungguh senang jika ada anak muda yang masih mau peduli pada kebudayaan mereka. “Kemarin itu, siapa, Arimbi? Dia juga pinter kayak kamu, Nduk. Pinter nembang. Suarane apik.”

“Loh, Arimbi ke sini to, Eyang?” Svarga seketika menyahut sembari menatap Bima dan kakeknya bergantian. Si kembar pun sama, keduanya belum mendengar cerita Arimbi jika sahabatnya itu datang ke rumah Bima. Merasa menjadi sasaran tatap dari ketiga tamunya, Bima malah memalingkan muka sembari beringsut ke arah meja, ia mengambil pisang rebus yang tersaji di atas meja.

Si tengil Arjuna seketika menyahut. “Mbak Arim ke sini, ngapelin Mas Bima.” Bima yang kesal dengan keusilan adiknya seketika melempar kulit pisangnya ke arah Arjuna. Bocah itu dengan gesitnya berlari. Pertengkaran dua bersaudara itu masih berlanjut karena Arjuna sengaja menjulurkan lidah dan terus mengejek kakak keduanya.

SMARA CARITAWhere stories live. Discover now