Memang Begitu

88 21 5
                                    

"Jadi, gitu? Lu pernah lihat lelaki itu gak sebelumnya?" tanya Adit sambil melihat wajah Vito yang terlihat cukup cemas.

"Belum, kak. Gue gak tahu siapa lelaki itu. Dia kayak mau cari sesuatu di rumah gue," Vito menarik rambut hitam legamnya ke belakang, rambutnya sudah basah karena keringat. Begitu pun kaus biru navy yang ia gunakan, dibanjiri oleh keringat. 

Karena hari ini akhir pekan, Praja mengajak Adit, Fariz dan teman-teman Vito lainnya untuk bermain basket bersama di lapangan basket Sempur. Praja terlihat sedang tertawa-tawa karena melihat Bobi yang salah mengoper bolanya dan malah mengenai wajah Fariz.

Adit perhatikan dari kejauhan, Praja tertawa puas melihat Fariz yang langsung terdiam sambil mengusap-usap wajahnya dan lalu meringis. Sedangkan Bobi terus berulang kali meminta maaf pada Fariz. Lain halnya dengan Rama yang berusaha menahan tawanya karena melihat kejadian itu. Adapun Andre dan Dio malah ikut tertawa dan berangkulan akrab dengan Praja, sudah seperti tawa iblis jahat yang senang melihat penderitaan orang lain.

Adit hanya menggelengkan kepala, lalu ia kembali fokus melihat ke arah Vito, yang duduk tepat di sampingnya. Tubuh Adit pun dibasahi keringat, sudah satu botol air mineral ia habiskan. Adit dan Vito memilih untuk beristirahat sebentar di pinggir lapangan sembari berbincang. 

"Boleh gak kalau gue ngomong ini sama lu. Mungkin bakal terdengar mengejutkan atau lu awalnya gak percaya. Tapi, gue rasa lu perlu tahu ini," ujar Adit dengan tatapannya yang serius.

Mendengar penjelasan itu, Vito langsung mengangguk yakin tanpa ragu.

"Mulai sekarang lu harus jaga diri lu baik-baik. Karena ke depannya akan ada banyak hal gak terduga yang bakal terjadi di hidup lu. Lu gak perlu takut, lu gak sendirian. Gue janji bakal dampingi lu."

Vito menatap wajah Adit dengan tatapan heran tak mengerti, "maksudnya apa, Kak?"

"Catatan mendiang kakak lu, gue udah pelajari selama tiga hari ini. Banyak hal janggal di sana. Feeling gue gak enak, kenapa gue kemarin-kemarin langsung mau bawa catatan itu karena gue udah bisa nebak kejadian semalam waktu itu, dimana ada lelaki asing di rumah lu. Dia ngincar buku catatan itu, Vito. Karena buku catatan itu bisa jadi bukti untuk mengurai kasus yang entah gue gak tahu bakal gimana jadinya nanti. Tolong, jaga diri lu baik-baik. Dan jangan hadapi ini sendirian, kalau lu butuh pertolongan hubungi gue atau dokter Zahid."

Vito yang mendengar penjelasan Adit itu menelan ludahnya dalam, apakah benar yang semua Adit katakan? Kok, rasanya terdengar seperti sebuah cerita karangan. Memangnya ada, ya, cerita seperti itu di kehidupan nyata? Kenapa Vito merasa skeptis dengan penjelasan Adit?

"Catatan itu gue simpan di tempat rahasia. Gue gak bisa nyerahin itu ke lu, gue gak mau terjadi sesuatu yang lebih parah sama lu."

Vito lagi-lagi terdiam mendengar perkataan Adit. Namun, kemudian ia membalas perkataan Adit, "tapi, bukannya itu berarti lu juga bakal ikut dalam masalah ini? Maksud gue, lu pun bakal terancam. Gue gak bisa kak biarin lu terancam juga. Gue rasa kita perlu cari solusi yang lebih tepat. Yang gak punya resiko tinggi buat lu ataupun gue."

Adit menghela napas, ia mendongak melihat ke atas langit sore yang cerah. Perkataan Vito benar, masalah yang sedang mereka hadapi ini bukanlah masalah kecil. Mereka harus sangat berhati-hati.

"Lu punya kuasa hukum atau  pengacara waktu kasus mendiang kakak lu itu? Mungkin kita bisa diskusikan masalah ini dengan beliau," saran Adit.

Vito langsung tersadar, "ada, kak. Kapan kita mau ketemu Pak Ibrahim? Kebetulan waktu itu beliau yang bantu proses hukum mendiang kakak gue."

"Nanti gue kabari secepatnya, ya. Gue gak bisa kasih keputusan untuk minggu ini soalnya gue ada kegiatan lain," jawab Adit sambil meraih telur gulung di sampingnya, lalu menyantapnya lahap, ia memberikan satu tusuk pada Vito. Vito pun mengambilnya dan memakannya.

PSIKE | TELAH TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang